Dalam Islam, setiap amalan, sekecil apapun,
bisa bernilai ibadah. Beristirahat, misalnya. Ia tak sekedar rutinitas melepas
lelah setelah seharian beraktivitas. Namun bisa menjadi pohon yang berbuah
pahala. Bagaimana amalan yang nyata-nyata telah menjadi kebutuhan kita
sehari-hari ini bisa bernilai ibadah? Simak bahasan berikut!
Hidup memang
sebuah pengorbanan dan perjuangan. Berjuang dan berkorban adalah sesuatu yang
melelahkan dan memberatkan, dan ketika lelah tentu butuh ketenangan dan
istirahat. Namun tidak semua orang bisa dengan mudah mendapatkan ini semua. Ada
yang hanya bisa beristirahat satu atau dua jam saja setiap harinya. Hidupnya
dipenuhi dengan aktivitas dan kesibukan yang luar biasa. Sehingga, kesempatan
beristirahat merupakan sebuah kenikmatan dan kasih sayang Allah 'Azza wa Jalla
yang mesti kita syukuri.
Namun di masa kini, manusia dihadapkan pada pola
hidup yang menuhankan materi. Hidup di dunia seolah-olah hanya untuk mencari
uang atau materi. Manusia diposisikan sebagai alat produksi yang senantiasa
dituntut produktif. Dengan kata lain, segala aktivitas harus ada timbal baliknya
secara materi. Pekerjaan adalah no. 1, sementara keharmonisan keluarga,
interaksi sosial dengan masyarakat, adalah nomor kesekian. Walhasil, manusia pun
tak ubahnya seperti robot. Ini jelas menyelisihi fitrah manusia. Allah 'Azza wa
Jalla menjelaskan di dalam Al-Qur`an:
وَخُلِقَ اْلإِنْسَانُ
ضَعِيْفًا “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (An-Nisa`:
28)
As-Sa’di rahimahullahu mengatakan: “(Allah 'Azza wa Jalla
menginginkan atas kalian keringanan) artinya kemudahan dalam segala perintah dan
larangan-Nya atas kalian. Kemudian bila kalian menjumpai kesulitan dalam
beragama maka Allah 'Azza wa Jalla telah menghalalkan bagi kalian sesuatu yang
kalian butuhkan seperti bangkai, darah dan selain keduanya bagi orang yang
mudhthar1, dan seperti bolehnya bagi orang yang merdeka menikahi budak wanita
dengan syarat di atas. Hal ini sebagai bukti sempurnanya kasih sayang Allah
'Azza wa Jalla, kebaikan yang mencakup ilmu dan hikmah-Nya atas kelemahan
manusia (yaitu kelemahan) dari semua sisi. Lemah tubuh, lemah niat, lemah
kehendak, lemah keinginan, lemah iman, dan lemah kesabaran. Berdasarkan semua
ini sangat sesuai jika Allah 'Azza wa Jalla meringankan atas mereka perkara yang
dia tidak sanggup untuk melakukannya dan segala apa yang tidak sanggup dipenuhi
oleh keimanannya, kesabaran, dan kekuatan dirinya.”
Dan karena kelemahan
itu, Allah Maha Bijaksana di dalam menentukan waktu kehidupan bagi mereka. Allah
'Azza wa Jalla menjadikan malam dan siang memiliki hikmah tersendiri. Dan adanya
malam dan siang itu menunjukkan kasih sayang Allah 'Azza wa Jalla terhadap
hamba-hamba-Nya dan manakah dari hamba-Nya yang mau mensyukurinya? Allah
'Azza wa Jalla berfirman:
فَالِقُ اْلإِصْبَاحِ وَجَعَلَ
اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ تَقْدِيْرُ
الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ “Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan
malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan.
Itulah ketentuan Allah yang Maha perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am:
98)
هُوَالَّذِي جَعَلَ
لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوا فِيْهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا إِنَّ فِيْ ذَلِكَ
لآيَاتِ لِقَوْمِ يَسْمَعُوْنَ “Dialah yang telah menjadikan malam
bagi kalian supaya kalian beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang
benderang (supaya kalian mencari karunia Allah 'Azza wa Jalla). Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah 'Azza wa Jalla)
bagi orang-orang yang mendengar.” (Yunus: 67)
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ
اللَّيْلَ لِبَاسًا وَالنَّوْمَ سُبَاتًا وَجَعَلَ النَّهَارَ
نُشُوْرًا “Dialah yang menjadikan untuk kalian malam sebagai
pakaian dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun
berusaha.” (Al-Furqan: 47)
وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ
اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ “Dan karena rahmat-Nya Dia jadikan
untuk kalian malam dan siang, supaya kalian beristirahat pada malam itu dan
supaya kalian mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar
kalian bersyukur kepada-Nya.” (Al-Qashash: 73)
Dan masih banyak lagi ayat
yang semakna dengan di atas. Semuanya menunjukkan betapa besar kasih sayang
Allah 'Azza wa Jalla terhadap hamba-hamba-Nya dan bahwa Allah 'Azza wa Jalla
telah melimpahkan kepada mereka segala yang mereka butuhkan dalam pengabdian dan
ibadah kepada Allah 'Azza wa Jalla. Namun mengapa kebanyakan manusia ingkar
kepada-Nya?
Dan kita semua berkeinginan agar tidur sebagai salah satu
bentuk istirahat bukan hanya sebagai ketundukan kepada sunnatullah semata. Kita
juga ingin agar tidur kita mendapatkan nilai ibadah tambahan dari sisi Allah
'Azza wa Jalla. Allah 'Azza wa Jalla melalui lisan Rasul-Nya Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita beberapa adab di
dalam tidur.
Berwudhu Sebelum Tidur Termasuk Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah berwudhu sebelum tidur. Hal ini bertujuan
agar setiap muslim bermalam dalam keadaan suci, sehingga bila ajalnya datang
menjemput diapun dalam keadaan suci. Dan sunnah ini menggambarkan bentuk
kesiapan seorang muslim untuk memenuhi panggilan kematian dalam keadaan suci
hatinya. Dan jelas bahwa kesucian hati lebih diutamakan daripada kesucian badan.
Dan sunnah ini juga akan mengarahkan pada mimpi yang baik dan menjauhkan diri
dari permainan setan yang akan menimpanya. (Lih. Fathul Bari, 11/125 dan Syarah
Shahih Muslim, 9/32)
Tentang sunnah ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah menjelaskan dalam sabda beliau:
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْئَكَ
لِلصَّلاَةِ... Dari Al-Bara` bin ‘Azib radhiallahu 'anhu, berkata:
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku: ‘Apabila kamu
mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah kamu sebagaimana wudhumu untuk
shalat.”2
Al-Imam Al-Bukhari di dalam Shahih beliau menulis sebuah bab:
“Apabila Bermalam (Tidur) dalam Keadaan Suci”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullahu mengatakan: “Sungguh terdapat hadits-hadits yang menjelaskan
makna ini yang tidak memenuhi syarat Al-Bukhari dalam Shahih-nya, di antaranya
hadits Mu’adz radhiallahu 'anhu:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَبِيْتُ عَلَى
ذِكْرٍ طَاهِرًا فَيَتَعَارُُُّ مِنَ اللَّيْلِ فَيَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنَ
الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ “Tidaklah
seorang muslim tidur di malam hari dengan berdzikir dan dalam keadaan suci,
kemudian dia terbangun dari tidurnya di malam hari kemudian dia meminta kepada
Allah kebaikan dunia dan akhirat melainkan Allah akan memberikan itu
kepadanya.”3 (lih. Fathul Bari, 11/124)
Dan beliau
mengatakan: “Perintah (untuk berwudhu di sini) adalah sunnah (bukan wajib).”
Beliau mengatakan juga: “At-Tirmidzi mengatakan: ‘Tidak ada di dalam
hadits-hadits penyebutan wudhu ketika tidur melainkan di dalam hadits ini’.”
(lih. Fathul Bari, 11/125)
Al-Imam An-Nawawi mengatakan: “Di dalam
hadits ini terdapat tiga sunnah yang penting, namun bukan wajib. Salah satu di
antaranya adalah berwudhu ketika ingin tidur. Dan bila dia dalam keadaan
berwudhu maka cukup baginya (dalam melaksanakan sunnah tersebut) karena yang
dimaksud adalah (tidur) dalam keadaan suci.” (Syarah Shahih Muslim,
9/32)
Demikianlah sunnah yang tidak ditinggalkan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika hendak tidur, yang semestinya kita sebagai
muslim memperhatikannya. Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu 'anhuma
bercerita:
أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَقَضَى حَاجَتَهُ
فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ نَامَ “Bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam terjaga di suatu malam lalu beliau menunaikan
hajatnya dan kemudian membasuh wajah dan tangannya lalu tidur.”4
Mengibas
(Membersihkan) Tempat Tidurnya Satu dari sekian sunnah yang diajarkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkaitan dengan adab tidur adalah
mengibas tempat tidur. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi sesuatu yang
membahayakan diri seperti binatang berbisa, baik ular, kalajengking, dan
sebagainya. Ini dilakukan tidak dengan tangan langsung, supaya terhindar dari
sesuatu yang mengotori sekiranya terdapat najis atau kotoran. (Lih. Syarah
Shahih Muslim, 9/38 dan Fathul Bari, 11/143)
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى
فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضُ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لاَيَدْرِي مَا
خَلَفَهُ عَلَيْهِ “Apabila salah seorang dari kalian beranjak
menuju tempat tidurnya maka hendaklah dia mengibas (membersihkan) tempat
tidurnya karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.”5
فَإِنَّهُ لاَيَدْرِي مَا خَلَفَهُ
عَلَيْهِ “Dia tidak mengetahui apa yang terjadi kemudian” artinya,
kata Al-Imam At-Thibi: “Dia tidak mengetahui apa yang akan terjatuh di
ranjangnya berupa tanah, kotoran, atau serangga bila dia meninggalkannya.”
(Fathul Bari, 11/144)
Ibnu Baththal mengatakan: “Di dalam hadits ini
terdapat adab yang besar dan telah disebutkan hikmahnya dalam hadits, yaitu
dikhawatirkan sebagian serangga yang berbahaya bermalam di tempat tidurnya dan
mengganggunya.
Al-Qurthubi mengatakan: “Diambil faedah dari hadits ini
bahwa sepantasnya bagi orang yang akan tidur untuk mengibas tempat tidurnya
karena dikhawatirkan terdapat sesuatu yang basah tersembunyi atau
selainnya.”
Ibnul ‘Arabi mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat
peringatan dan (anjuran) agar seseorang mengetahui sebab-sebab tertolaknya
taqdir yang jelek. Dan hadits ini sama dengan hadits: “Ikatlah ontamu kemudian
bertawakkal.” (lihat Fathul Bari, 11/144)
Tidur di Atas Lambung Sebelah
Kanan Kesempurnaan Islam adalah sebuah keistimewaan yang diberikan kepada
umat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menunjukkan keutamaan mereka
atas umat-umat terdahulu. Sungguh merugi bila akal, perasaan, adat istiadat,
ajaran nenek moyang dijadikan sebagai hakim atas kesempurnaannya.
Segala
perintah, larangan dan bimbingan yang ada di dalamnya adalah demi kemaslahatan
manusia. Akan tetapi berapa banyak dari mereka yang mau menerima bimbingan? Yang
ingkar lebih banyak daripada yang beriman, dan yang menentang lebih banyak
daripada yang taat, dan yang menolak lebih banyak dari yang
menerima.
Hikmah yang terkandung dalam bimbingan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk tidur di atas lambung kanan adalah lebih cepat untuk
terjaga (bangun), jantung bergantung ke arah sebelah kanan sehingga tidak
menjadi berat bila ketika tidur.
Ibnul Jauzi berkata: “Cara seperti ini
sebagaimana telah dijelaskan ilmuwan-ilmuwan kedokteran sangat berfaedah bagi
badan. Mereka mengatakan: ‘Mereka mengawali sesaat tidur di atas lambung sebelah
kanan, kemudian di atas lambung sebelah kiri karena tertidur. (Dengan cara)
pertama akan menurunkan makanan, dan tidur di atas lambung kiri akan
menghancurkannya dan dikarenakan hati (terkait dengan pekerjaan) lambung.” (Lih.
Fathul Bari, 11/115)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
ثُمَّ اضْطَجِعْ
عَلَى شِقِّكَ اْلأَيْمَنِ “Lalu tidurlah di atas lambungmu yang
kanan.”6
Meletakkan Tangan di Bawah Pipi Tata cara ini dijelaskan oleh
Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu 'anhuma:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ مِنَ اللَّيْلِ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ
خَدِّهِ “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila
beliau tidur di malam hari, beliau meletakkan tangan beliau di bawah
pipi.”7
Berdoa Sebelum Tidur
كَانَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ قَالَ:
اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَحْيَا وَبِاسْمِكَ أَمُوتُ “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila akan tidur beliau berdoa: ‘Ya Allah,
dengan menyebut nama-Mu aku hidup dan dengan menyebut namamu aku mati
(tidur).”8
Membaca Dzikir-dzikir Tidur
Dzikir-dzikir tidur yang
ada dan shahih riwayatnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
sangatlah banyak, dan buku-buku yang ditulis dalam masalah ini bertebaran di
tengah kaum muslimin. Di antara dzikir-dzikir tersebut adalah:
a. Membaca
ta’awwudz dan meniup telapak tangan lalu mengusapkannya ke seluruh anggota
tubuh. Hal ini berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari
dan Muslim:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ نَفَثَ
فِي يَدَيْهِ وَقَرَأَ بِالْمُعَوِّذَاتِ وَمَسَحَ بِهِمَا
جَسَدَهُ “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila
beliau akan tidur beliau meniup kedua tangan beliau dan membaca mu’awwidzat
(ayat-ayat perlindungan) lalu mengusap dengan itu seluruh jasadnya.”9
Apa
yang dimaksud dengan ayat-ayat perlindungan? Dan bagaimana tatacaranya yang
dipraktekkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?
Telah dijelaskan
dalam riwayat Abu Dawud (no. 5057) tentang yang dimaksud dengan doa perlindungan
dan tatacaranya, yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا،
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى
فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيْهِمَا وَقَرَأَ
فِيْهِمَا {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} وَ{قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ} وَ{قُلْ
أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ} ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ
يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ،
يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ “Dari ‘Aisyah, bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila menuju tempat pembaringan pada setiap
malam, beliau menghimpun kedua telapak tangan beliau kemudian meniupnya dan
membaca Qul Huwallahu Ahad dan Qul A’udzubirabbil Falaq dan Qul A’udzubi Rabbi
An-Nas kemudian dia mengusap seluruh tubuh beliau, dan beliau memulai dari
kepala kemudian wajah dan bagian depan jasad dan beliau lakukan hal itu tiga
kali.”10
b. Membaca takbir, tahmid dan tasbih 33 kali. Al-Imam
Al-Bukhari rahimahullahu mengatakan:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ:
حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْحَكَمِ: سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي
لَيْلَى قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيٌّ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلاَمُ شَكَتْ
مَا تَلْقَى مِنْ أَثَرِ الرَّحَا فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سَبْيٌ. فَانْطَلَقَتْ فَلَمْ تَجِدْهُ فَوَجَدَتْ عَائِشَةَ
فَأَخْبَرَتْهَا. فَلَمَّا جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَخْبَرَتْهُ عَائِشَةُ بِمَجِيءِ فَاطِمَةَ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْنَا وَقَدْ أَخَذْنَا مَضَاجِعَنَا فَذَهَبْتُ لأَقُوْمَ
فَقَالَ: عَلَى مَكَانِكُمَا. فَقَعَدَ بَيْنَنَا حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَ
قَدَمَيْهِ عَلَى صَدْرِي، وَقَالَ: أَلاَ أُعَلِّمُكُمَا خَيْرًا مِمَّا
سَأَلْتُمَانِي؟ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا تُكَبِّرَا أَرْبَعًا
وَثَلاَثِيْنَ وَتُسَبِّحَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَتَحْمَدَا ثَلاَثًا
وَثَلاَثِيْنَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ Muhammad bin
Basysyar telah bercerita kepadaku: Ghundar telah menceritakan kepada kami:
Syu’bah telah menceritakan kepada kami dari Al-Hakam: Aku telah mendengar Ibnu
Abi Laila berkata: “‘Ali telah menceritakan kepadaku bahwa Fathimah mengeluhkan
apa yang beliau dapati (berupa bekas pada tangan beliau) karena menumbuk
(tepung). Kemudian dibawakan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seorang
tawanan dan aku segera mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan
tetapi aku tidak menjumpainya dan beliau menjumpai ‘Aisyah lalu Fathimah
menceritakan (hajatnya) kepada ‘Aisyah. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam datang, ‘Aisyah memberitahukan tentang kedatangan Fathimah kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kami sedangkan kami telah
tidur. Lalu aku berusaha bangun, beliau berkata: “Tetaplah kalian di tempat
kalian.” Lalu beliau duduk di antara kami, dan aku (kata Fathimah) merasakan
dingin kedua kaki beliau yang diletakkannya di atas dadaku dan beliau bersabda:
“Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian
minta kepadaku yaitu bila kalian akan tidur bertakbirlah 34 kali, bertasbih 33
kali, dan bertahmid 33 kali lebih baik bagi kalian dari pada memiliki pembantu
(budak).”
c. Membaca doa di bawah ini:
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ
نَامَ عَلَى شِقِّهِ اْلأَيْمَنِ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي
إِلَيْكَ وَوَجَّهْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ
ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ
إِلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي
أَرْسَلْتَ. وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ
قَالَهُنَّ ثُمَّ مَاتَ تَحْتَ لَيْلَتِهِ مَاتَ عَلَى
الْفِطْرَةِ Dari Al-Bara` bin ‘Azib, berkata: Adalah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila beliau menuju tempat pembaringan, beliau
tidur di atas lambung sebelah kanan kemudian berdoa: “Ya Allah, aku serahkan
diriku kepada-Mu dan aku hadapkan wajahku kepada-Mu dan aku serahkan semua
urusanku kepada-Mu dan aku bentangkan punggungku di hadapan-Mu dengan penuh
harapan dan rasa takut dari-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan (meminta)
keselamatan melainkan kepada-Mu, aku beriman kepada kitab yang Engkau telah
turunkan dan Nabi yang Engkau telah utus”, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: “Barangsiapa mengatakannya lalu dia meninggal pada malam itu
maka dia meninggal di atas fitrah.”11
d. Membaca doa di bawah
ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ
إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضْ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لاَ
يَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ، ثُمَّ يَقُولُ بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِي
وَبِكَ أَرْفَعُهُ إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَارْحَمْهَا وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا
فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ Dari Abu
Hurairah radhiallahu 'anhu, berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: Apabila salah seorang dari kalian menuju tempat tidurnya, hendaklah
dia mengibasnya dengan bagian dalam kainnya, karena dia tidak mengetahui apa
yang akan terjadi kemudian. Lalu dia berdoa: ‘Dengan menyebut nama-Mu wahai
Rabb, aku meletakkan lambungku dan karena-Mu pula aku mengangkatnya dan jika
Engkau mencabut ruhku maka rahmatilah dia, dan jika Engkau melepaskannya (untuk
hidup) maka jagalah dia sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang
shalih’.”12
Wallahu a’lam.
1 Orang yang sangat membutuhkan dan
bila dia tidak melakukannya niscaya akan binasa, seperti orang yang bepergian
sementara bekalnya habis di perjalanan dan dia dalam keadaan sangat lapar yang
dapat mengancam jiwanya (jika dibiarkan). Maka agama memperbolehkan memakan
segala apa yang didapatinya seperti bangkai, darah, babi, anjing dan sebagainya
untuk memenuhi kebutuhannya di saat itu saja. Ibnu Atsir di dalam kitab
An-Nihayah (3/83) menjelaskan: “Sesungguhnya dihalalkannya bangkai bagi orang
yang mudhthar hanyalah sebatas memakan apa yang akan menutup laparnya di pagi
atau malam dan tidak boleh menjadikannya bekal antara keduanya (mempersiapkan di
pagi hari sampai malam, pent.) 2 HR. Al-Bukhari no. 6311 dan Muslim no.
2710 3 HR. Abu Dawud di dalam Sunan beliau no. 5042 dan dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no 5042, Al-Misykat
no. 1215 dan di dalam kitab At-Ta’liq Ar-Raghib 1/207-208. 4 HR. Al-Bukhari
no. 6316 dan Abu Dawud no. 5043 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di
dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 4217. 5 HR. Al-Bukhari no. 6320 dan
Muslim no. 2714 6 HR. Al-Bukhari no. 6311 dan Muslim no. 2710 7 HR.
Al-Bukhari no. 6314 8 HR. Muslim (no. 2711) dan Ahmad (no.17862) dari
shahabat Al-Bara’ bin ‘Azib radhiallahu 'anhu. Dari shahabat Hudzaifah ibnul
Yaman radhiallahu 'anhuma dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no.1324) dengan
lafadz yang berbeda dengan lafadz Al-Imam Muslim:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ ثُمَّ
يُقُوْلُ: اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَمُوْتُ وَأَحْيَا Dan yang semakna
dengan hadits ini diriwayatkan dari shahabat Abu Dzar radhiallahu 'anhu,
dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no. 6325). 9 HR. Al-Bukhari no. 6319,
Muslim, Abu Dawud no. 5057, Ibnu Majah, dan Ahmad no. 23708 dari shahabat
‘Aisyah radhiallahu 'anha. 10 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 4228 11 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6315 dan
Muslim no. 2710 12 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6320 dan Muslim no. 2714,
lafadz ini adalah lafadz Al-Bukhari |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar