Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling
banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa
diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan
berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan
manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada
Rabb-nya.
Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA.
Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya.
Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan
gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat.
Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami
sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan
anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami
melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu
sedikitpun.
Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan
kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil
mengibarkan benderanya dan menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta
sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang dilarang Allah dan
Rasul-Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik.” (Ali ‘Imran: 14)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
haditsnya dari shahabat Tsauban radhiallahu 'anhu
mengatakan:
‘Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumuni kalian
sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai
Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian
bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan
dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian
(penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang dimaksud dengan al-wahn
wahai Rasulullah?’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: ‘Cinta
dunia dan takut mati.’ (HR. Abu Dawud no. 4297, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman
As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan: “Allah memberitakan dalam dua ayat ini
(Ali ‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih
mencintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan Allah menjelaskan perbedaan yang
besar antara dua negeri tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberitakan bahwa
hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia
sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati
mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar
condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan
terbesar dari cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah
perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat
cepat.”
Definisi Cinta Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit,
karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata.
Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan
bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan
tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus
Salikin, 3/9)
Hakikat Cinta Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan
terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang
diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai
dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta
adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke
dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.
Cinta kepada
Allah Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat
banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata:
”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah
lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:
“Katakanlah: jika kalian
cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali
‘Imran: 31) Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah
akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan
buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah mengikuti
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, faidah dan buahnya adalah kecintaan
Allah kepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam maka kecintaan Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan
hilang.”
Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang
lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan
dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu:
“Tiga hal yang barangsiapa
ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman.
Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan
hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena
Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah
selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke
dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Ibnul Qayyim
mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh
perkara:
Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami
makna-maknanya serta apa yang dimaukannya. Kedua, mendekatkan diri kepada
Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib. Ketiga, terus-menerus
berdzikir dalam setiap keadaan. Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas
kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu. Kelima, hati yang selalu menggali
nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya. Keenam,
menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya. Ketujuh, tunduknya
hati di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kedelapan, berkhalwat (menyendiri
dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit
dunia). Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan
jujur. Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati
dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. (Madarijus Salikin, 3/18, dengan
ringkas)
Cinta adalah Ibadah Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan
salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama
sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan
menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)
“Dan orang-orang
yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
“Maka Allah
akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)
Adapun dalil dari hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hadits Anas yang telah disebut di atas yang
dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan
Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”
Macam-macam
cinta Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada
yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani
dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa
cinta ada empat macam:
Pertama, cinta ibadah. Yaitu mencintai Allah
dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di
atas.
Kedua, cinta syirik. Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan di antara manusia ada yang
menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka
mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.”
(Al-Baqarah: 165)
Ketiga, cinta maksiat. Yaitu cinta yang akan
menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan
apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan
kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr:
20)
Keempat, cinta tabiat. Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri,
harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta
tabiat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Ketika mereka
(saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih
dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf: 8)
Jika cinta tabiat ini
menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga
meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila
cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut
sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta
tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.
Buah cinta Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan: “Ketahuilah bahwa yang menggerakkan
hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling
kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan
di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman
As-Sa’di rahimahullahu menyatakan: “Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan
dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan
peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan
sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga
sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)
Bila kita ditanya bagaimana
hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram
dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu
dirinci.
Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama
dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas
haram. Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh
dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram. Ketiga,
bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.
Wallahu
a’lam.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar