Rabu, 02 Januari 2013

Komunikasi dan Perubahan Sosial


I.     PENDAHULUAN
1.1      Latar Belakang
Komunikasi pada masa dahulu dan hingga masa sekarang merupakan merupakan kaitan interkasi sosial makhluk hidup satu sama lain yang ditiap sisi kehidupan adalah merupakan asumsi-asumsi penggerak akan hal yang dirancangkan. Komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan informasi atau pesan antara dua orang atau lebih dengan cara yang efektif, sehingga pesan yang dimaksud dapat dimengerti. Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan kata lain, komunikasi adalah proses membuat pesan yang setara bagi komunikator dan komunikan (Anonim 1, 2012).
Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat dunia dewasa ini merupakan gejala yang normal. Pengaruhnya bisa menjalar dengan cepat ke bagian-bagian dunia lain berkat adanya komunikasi modern (Anonim 2, 2012).

Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan, yang dapat berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok. Ada pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali, tetapi ada juga yang berjalan dengan cepat. Perubahan-perubahan hanya akan dapat ditemukan oleh seseorang yang sempat meneliti susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan dan kehidupan masyarakat pada waktu yang lampau. Seseorang yang tidak sempat menelaah susunan dan kehidupan masyarakat desa di Indonesia misalnya akan berpendapat bahwa masyarakat tersebut statis, tidak maju, dan tidak berubah. Pernyataan demikian didasarkan pada pandangan sepintas yang tentu saja kurang mendalam dan kurang teliti karena tidak ada suatu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik tertentu sepanjang masa. Orang-orang desa sudah mengenal perdagangan, alat transportasi modern, bahkan dapat mengikuti berita-berita mengenai daerah lain melalui radio, televisi, dan sebagainya yang kesemuanya belum dikenal sebelumnya (Anonim 3, 2012
Penemuan-penemuan baru di bidang teknologi yang terjadi di suatu tempat dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat lain yang berada jauh dari tempat tersebut. Perubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak zaman dahulu. Namun, dewasa ini perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepatnya sehingga membingungkan manusia yang menghadapinya, yang sering berjalan konstan. Perubahan memang terikat oleh waktu dan tempat. Akan tetapi, karena sifatnya yang berantai, perubahan terlihat berlangsung terus, walau diselingi keadaan di mana masyarakat mengadakan reorganisasi unsur-unsur struktur masyarakat yang terkena perubahan. Berdasarkan hal tersebut maka akan dibahas lebih lanjut mengenai komunikasi dan perubahan sosial di Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Takalar.
1.2      Maksud dan Tujuan
Maksud diadakannya praktek lapang ini adalah Sebagai sarana komunikasi antara mahasiswa dengan masyarakat serta memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk beradaptasi dengan suasana yang di Desa Pattontongan.
Tujuan diadakannya praktek lapang Komunikasi dan Perubahan Sosial ini adalah :
1.    Memahami inovasi-inovasi dan komunikasi yang ada di Desa Pattontongan.
2.    Memahami aspek-aspek perubahan sosial pada masyarakat desa dan dampak perubahan sosial yang ada di Desa Pattontongan.



II.        KONDISI UMUM DESA
2.1      Sejarah Administrasi dan Komunitas Desa
Wilayah Kabupaten Maros dalam sejarahnya telah mengalami pemekaran wilayah. Pada tahun 1963, Kabupaten Maros terbagi atas 4 (empat) kecamatan, yakni Kecamatan Maros Baru, Bantimurung, Mandai, dan Camba. Memasuki tahun 1989, diadakan pemekaran wilayah kecamatan dengan dibentuknya 3 (tiga) kecamatan perwakilan, yakni Kecamatan Perwakilan Tanralili, Maros Utara, dan Mallawa, yang hingga saat ini saat ini terdapat 14 wilayah kecamatan. Kecamatan mandai memiliki luas wilayah sekitar 49,11 km, yang terdiri dari Kelurahan Baji Mangai, Kelurahan Bontoa, Kelurahan Hasanuddin, Desa Pattontongan, Desa Bonto Mate’ne, dan Desa Tenrigangke.
Sejarah terbentuknya Desa Pattontongan secara administratif, Desa Pattontongan merupakan hasil pemekaran dari Desa Tenrigangkae yang terbentuk sekitar 27 tahun yang lalu yaitu pada tahun 1985. Ada 2 kepala Desa yang telah menjabat. Yaitu, Bapak H. A. Abdul Razak selama 2 periode, Bapak Made Saputra selama 2 periode dan yang menjabat sekarang sebagai kepala Desa Pattontongan adalah Bapak Jafar.
Luas wilayah Desa Pattontongan yaitu 11,47 km2, yang terdiri dari 4 (empat) dusun yaitu Dusun Pattontongan, Dusun Mangento, Dusun Bangungpolea, dan Dusun Tolo. Jumlah penduduk Desa Pattontongan sebesar 1.955 jiwa terdiri dari 985 penduduk berjenis kelamin pria dan penduduk berjenis kelamin 970 perempuan.serta terdiri dari 455 kepala rumah tangga. Berdasarkan topografinya sebanyak 2 dusun (50%) adalah daerah datar yaitu Dusun Pattontongan dan Dusun Mangento sedangkan 2 dusun (50%) merupakan daerah yang kondisinya berbukit-bukit yaitu Dusun Bangungpolea, dan Dusun Tolo.
Jarak Desa Pattontongan dari kecamatan adalah 7 km, jarak Desa Pattontongan ke kota kecamatan adalah 12 km. Dalam kedudukannya, Desa Pattontongan memegang peranan penting terhadap pembangunan Kabupaten Maros karena sebagaian besar daerahnya memiliki lahan pertanian yang luas dan dengan sendirinya memberikan peluang yang sangat besar terhadap pembangunan di Kabupaten Maros. Desa Pattontongan secara administrasi wilayah berbatasan dengan :
Ø   Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tenrigangkae
Ø   Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Purna Karya
Ø   Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bontomarannu
Ø   Sebelah Barat berbatasan dengan desa Baji Mangai.
2.2      Kondisi Sosial Ekonomi
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya harus melakukan aktifitas ekonomi yang meliputi bidang yang berhubungan langsung dengan alam, seperti pertanian, perikanan, pertambangan dan sebagainya.  Secara tidak langsung bahwa sistem sosial budaya memiliki sifat pendorong maupun membatasi perilaku yang dapat berubah. Di samping itu unsur-unsur internal tersebut tidak dapat sepenuhnya terlepas, namun diwarnai oleh unsur-unsur eksternal yang berasal dari lingkungan di luar yang menyebabkan sistem perekonomian menjadi semakin kompleks. Unsur-unsur eksternal seperti kondisi sosial dan ekonomi yang berupa keadaan pendidikan, kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan nampaknya menjadi sebab sebab perubahan yang kesemuanya merupakan variabel-variabel yang saling berkait dalam hubungannya dengan tumbuh dan berkembangnya usahatani Desa Pattontongan.
Upaya yang dicapai oleh masyarakat Desa Pattontongan dalam mengembangkan usahatani di desanya mendorong terjadinya perubahan sistem perekonomian dan akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada sistem hubungan atau kehidupan sosial. Faktor lingkungan sebagai unsur eksternal secara tidak langsung juga telah mempengaruhi aktivitas ekonomi yang telah memicu munculnya pengembangan usahatani itu sendiri. Penambahan jumlah lahan persawahan merupakan salah satu usaha pemanfaatan lahan secara intensif.  Lahan untuk pertanian yang digunakan penduduk Desa Pattontongan adalah lahan yang cukup terbatas, karena adanya pengalihan lahan persawahan menjadi lahan untuk
mendirikan bangunan. Aktivitas kerja yang dilakukan oleh masyarakat Pattontongan kiranya merupakan upaya pencapaian dalam pengembangan yang didukung oleh etos kerja yang tinggi.
Masyarakat dalam melakukan aktivitasnya didorong oleh motivasi kerja yang akan membuahkan hasil yang dapat dinikmati oleh masyarakat yang bersangkutan. Semua unsur tersebut diatas tampaknya menyebabkan berubahnya pola kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Desa Pattontongan.
2.2.1 Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi laki-laki dan perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka dalam menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan (Sholihah, 2006).
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan kerja dan juga sangat menentukan dalam klasifikasi pembagian kerja. Berdasarkan data sekunder, penduduk Desa Pattontongan dapat dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Jenis Kelamin
Jumlah Penduduk   (Jiwa)
Persentase (%)
Laki-Laki
985
50,38
Perempuan
970
49,62
Jumlah
1955
100
Sumber: Data Sekunder Setelah Diolah, 2012.
2.2.2     Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Mata pencaharian atau pekerjaan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, karena tanpa pekerjaan kita akan mengalami kesulitan dalam hidup kita. Memilih pekerjaan yang akan kita kerjakan adalah penting sekali sebab bila kita salah memilih perkerjaan, kita akan merasa selalu tidak puas dan menderita (Anonim 4, 2009).
Tabel 2. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Pattotongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, 2012.
No
Mata Pencaharian
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Persentase  (%)
1
Petani
696
48
2
Peternak
444
30,6
3
PNS
4
0,3
4
Wiraswasta
158
10,9
5
Buruh bangunan
26
1,8
6
Pedagang
122
8,4
Jumlah
1.450
100
Sumber : Data Sekunder,2012.
Tabel 2 menunjukkan bahwa penduduk di Desa Pattontongan yang bekerja sebagai petani sebanyak 696 jiwa (48%), peternak sebanyak 444 jiwa (30,6%), PNS (Pegawai Negeri Sipil) sebanyak 4 jiwa (0,3%), wiraswasta sebanyak 158 jiwa (10,9%), buruh bangunan sebanyak 26 jiwa (1,8%) dan pedagang sebanyak 122 jiwa (8,4%). Mata pencaharian di Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros lebih dominan seorang petani dari pada buruh bangunan, hal ini sesuai dengan pendapat Soekanto (2012) yang menyatakan bahwa umumnya penduduk di desa memiliki mata pencaharian sebagai petani di mana di pedesaan memiliki lahan yang luas dan cocok untuk pertanian.
2.2.3   Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan menentukan pola pikir serta sikap seseorang dalam menyikapi perubahan-perubahan serta fakta sosial yang terjadi di dalam suatu tatanan masyarakat. Kemampuan untuk menelaah dan menganalisa masalah juga dapat dihasilkan dari seberapa jauh tingkat pendidikan yang mereka ditempuh (Sholihah, 2006). Berikut adalah tabel mengenai jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros :
Tabel 3. Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, 2012.
Tingkat Pendidikan
Frekuensi
Persen
Pra Sekolah
SD
SMP
SMA
Sarjana
402
236
104
78
6
48,7
28,6
12,6
9,4
0,7
Jumlah
826
100,0
Sumber  : Data Sekunder, 2012.
Berdasarkan tabel 3 diatas, memperlihatkan bahwa kesadaran masyarakat di Desa Patontongan akan pentingnya pendidikan masih rendah. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya penduduk pra sekolah dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu 402 (48,7%) orang. Sedangkan untuk tingkat SD sampai Perguruan Tinggi masing-masing sebanyak 236 (38,6%) orang untuk tingkat SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 104 (12,6%) orang, Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 78 (9,4%) orang, dan Perguruan Tinggi (PT) sebanyak 6 (0,7%) orang.
Tingkat pendidikan yang diperoleh penduduk di Desa Pattontongan beragam pada jenjangnya masing-masing. Berdasarkan tingkat atau jenjang pendidikan yang telah ditamatkan penduduk dapat dikelompokkan dalam tingkat SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. Pengelompokkan ini dapat digunakan untuk menentukan besarnya tingkat pendidikan penduduk. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang memberi pengaruh besar terhadap kehidupannya. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petani merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pengelolaan usahataninya. Hal ini sejalan dengan pendapat Sholihah (2006) bahwa tingkat pendidikan berkaitan dengan kemampuan dalam menyerap dan menerima informasi. Masyarakat yang memiliki pendidikan lebih tinggi pada umumnya memiliki pengetahuan yang lebih luas sehingga lebih mudah dalam menyerap dan menerima informasi serta berperan serta secara aktif dalam mengatasi masalah.

2.3        Kondisi Sarana dan Prasarana
            Sarana adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya meliputi sarana pendidikan, kesehatan, peribadatan, olahraga, dan lain-lain. Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya meliputi jalan, listrik, telekomunikasi, air bersih, drainase, persampahan, dan air kotor (Purnomo, 2004).
            Lancarnya perekonomian suatu daerah sangat dipengaruhi oleh jumlah sarana dan prasarana yang terdapat pada daerah tersebut, baik sarana bangunan maupun sarana perhubungan. Jika suatu  daerah mempunyai sarana yang memadai serta ditunjang oleh sumber daya alam yang cukup, maka kegiatan pertanian atau perekonomian pada daerah tersebut berjalan lancar. Sarana perhubungan dan komunikasi dapat membantu  mempercepat informasi segala macam yang berhubungan dengan pertanian. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan dan keagamaan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat yang berpendidikan disertai dengan ketekunan dalam menjalankan ibadah merupakan syarat utama dalam pembangunan nasional. Sarana di bidang kesehatan sangat diperlukan dalam mengelola usahatani agar dapat berjalan lancar (Purnomo, 2004).
2.3.1   Sarana Pendidikan
Pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan kelakuan in dividu. Pendidikan bertalian dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek lainnya terhadap interaksi sosial. Hampir segala sesuatu yang kita alami merupakan hasil hubungan kita di rumah, sekolah, tempat pekerjaan, dan sebagainya sehingga diperlukan sarana pendidikan (Sholihah, 2006).
Berdasarkan data sekunder, penduduk Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros berdasarkan jumlah sarana pendidikan yang tersedia ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 4. Jumlah Sarana Pendidikan Yang Tersedia di Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, 2012.
No.
Jenis Sarana
Jumlah (Buah)
Persentase                (%)
1.
Gedung TK
1
50
2.
Gedung SD
1
50
3.
Gedung SLTP
-
-
4.
Gedung SMU
-
-
5.
Gedung TPA
-
-
Jumlah
2
100
Sumber: Data Sekunder setelah diolah, 2012
Tabel 4 menunjukkan bahwa sarana pendidikan khususnya untuk bangunan Taman Pendidikan Al Quran (TPA) di Desa Pattontongan tidak ada tetapi hanya menggunakan rumah bagi orang yang bersukarela.Bangunan Taman Kanak-Kanak (TK) sebayak 1 buah  bangunan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 2 buah, sedangkan SLTP dan SMU tidak ada. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk di Kelurahan Parangbanoa disebabkan tidak tersedianya sarana pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat  Sutejo (2010) bahwa wilayah pedalaman sangat kurang menyediakan sarana pendidikan yang diharapkan mampu menopang pendidikan masyarakat.
2.3.2     Sarana Peribadatan
            Sarana peribadatan merupakan sarana kehidupan untuk mengisi kebutuhan rohani yang perlu disediakan dilingkungan perumahan yang direncanakan selain sesuai peraturan yang ditetapkan, juga sesuai dengan keputusan masyarakat yang bersangkutan. Tempat-tempat ibadah merupakan salah satu sarana tempat-tempat umum yang dipergunakan untuk berkumpulnya masyarakat guna melaksanakan kegiatan ibadah (Tanudirjo, 1993).
            Berdasarkan data sekunder, penduduk Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros berdasarkan jumlah sarana peribadatan yang tersedia ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 5. Jumlah Sarana Peribadatan Yang Tersedia di Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, 2012.
No.
Tempat Ibadah
Jumlah (Buah)
1.
Mesjid
4
2.
Gereja
-
3.
Wihara
-
4.
Pura
-
Jumlah
4
Sumber: Data Sekunder Setelah Diolah, 2012
Berdasarkan tabel 5 di atas menunjukkan bahwa fasilitas tempat ibadah di Desa Pattontongan masih sangat minim. Jumlah mesjid yang terdapat di desa tersebut sebanyak 4 buah sedangkan untuk gereja, wihara, dan pura  tidak terdapat di Desa Pattontongan. Ini dapat membuktikan bahwa rata-rata penduduk di Desa Pattontongan beragama Islam. Hal ini sesuai dengan pendapat Connie (2011) bahwa mesjid merupakan tempat ibadah yang diperuntukkan kepada umat muslim. Sarana peribadatan merupakan tempat yang penting bagi umat beragama.






III.      KOMUNIKASI DAN INOVASI DESA
3.1         Inovasi – inovasi Desa dalam Lima Tahun Terakhir
Teknologi pertanian pada dasarnya adalah penerapan dari ilmu-ilmu teknik pada kegiatan pertanian atau dalam pengertian lain dan lebih luas yaitu suatu penerapan prinsip-prinsip matematika dan sains dalam rangka pendayagunaan sumber daya pertanian dan sumber daya alam secara ekonomis untuk kesejahteraan manusia (Anonim 6, 2012)
Pertanian dan teknologi sangatlah tidak dapat dipisahkan untuk zaman sekarang ini. Keduanya jalan bersamaan dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahtareaan manusia melalui ketahanan pangan dan produk-produk sandang dan papan. Ilmu dan teknoogi pertanian secara luas mencakup berbagai penerapan ilmu yang terfokus pada budidaya, pemeliharaan, pemanenan, peningkatan mutu hasil panen, penanganan, pengelolaan dan pengamanan hasil, dan pemasaran hasil sebagai objek formal ilmu pertanian tersebut (Soekanto, 2010)
Sebelum membahas masalah dan perkembangan teknologi pertanian di Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu perkembangan pertanian di Indonesia yang di dalamnya diterapkan teknologi pertanian baik teknologi sederhana maupun sudah sampai teknologi mutakhir. Pertanian khususnya di Indonesia mulai berkembang sekitar tahun 1975. Pertanian tersebut terbagi ke dalam tiga generasi. Generasi I yaitu generasi pertanian yang menghasilkan bibit. Generasi II yaitu generasi penghasil komoditas pertanian. Generasi III yaitu generasi yang meningkatkan nilai tambah hasil pertanian atau dengan kata lain agroindustri. Ketiga generasi tersebut tidak dapat berjalan sendiri-sendiri karena ketiganya saling mendukung. Generasi I pertanian menghasilkan bibit bagi pertanian melalui pertanian bibit yang merupakan input bagi generasi II pertanian sehingga menghasilkan suatu komoditi. Kemudian komoditi yang dihasilkan generasi II pertanian yang meliputi hewan, tumbuhan, dan mikroba dijadikan input bagi generasi III pertanian yaitu agroindustri untuk diolah menjadi produk yang mempunyai nilai yang lebih tinggi dari generasi-generasi sebelumnya baik dari segi fungsionalnya maupun nilai ekonomisnya (Astrid, 1983)
Pada generasi I, menghasilkan bibit pertanian dapat dilakukan dengan berbagai metode dalam ilmu dan teknologi pertanian seperti penyeleksian, persilangan, dan rekayasa genetika. Pertanian generasi II  menghasilkan komoditas pertanian dengan melakukan budidaya yang menerapkan segenap ilmu dan teknologi mulai dari penyiapan lahan hingga pemanenan. Untuk generasi agroindustri, teknologi yang diterapkan lebih banyak lagi dan teknologi tersebut saling terintegrasi untuk membangun suatu agroindustri yang baik. Teknologi yang digunakan pada pertanian generasi III ini antara lain, bioteknologi, kimia pangan, teknologi rekayasa proses, teknik dan sistem industri, pengemasan, penyimpanan, distribusi dan transportasi, dan bahkan nanoteknologi (Astrid, 1983)
Bukti, kaitan ketiganya saling tidak dapat terlepas yaitu apabila salah satu generasi tidak ada atau tidak berjalan akan ‘mengkerdilkan’ fungsi generasi lainnya. Misalnya, kegiatan agroindustri yang sangat buruk di suatu negara yang tidak dapat mengangkat potensi komoditas-komoditas pertaniannya ke dalam produk bernilai tinggi akan mematisurikan potensi komoditas yang dihasilkan pertanian generasi II dan kegunaan pertanian generasi I tidak maksimal, dalam arti hanya sebatas penggunaan bibit untuk menghasilkan komoditas, tidak menghasilkan produk, padahal bibit yang dihasilkan (pada generasi I) juga dapat dijadikan input untuk generasi agroindustri yaitu industri bibit yang tentunya disandarkan pada teknologi pertanian bibit dalam pengembangannya. Begitu pula apabila generasi II tidak menghasilkan komoditas pertanian yang berkualitas dan berkuantitas baik, maka generasi agroindustri akan kesulitan mendapat bahan baku industrinya. Hal ini bisa saja dikarenakan generasi I penghasil bibit menghasilkan bibit yang kurang dalam segi kualitas. Terbukti bahwa ketiga generasi tersebut saling mendukung. Ketiga generasi tersebut akan tetap berjalan sejak dan selama pertanian dan ilmu pengetahuan dan teknologi ada di bumi ini (Gumilar, 2001).
Sejarah adanya teknologi pertanian di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah Indonesia itu sendiri. Indonesia yang pada era perang dunia I diduduki oleh kolonial Belanda menjadi ‘tempat’ pertanian pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam hal pemenuhan kebutuhan mereka. Untuk melaksanakan progamnya, pemerintah Hindia Belanda yang sebelumnya mendatangkan tenaga ahli pertanian, karena adanya peperangan, mereka mendapatan kesulitan untuk terus mengirim tenaga ahli dari Belanda. Untuk mengatasi masalah tersebut, kemudian mereka membangun sekolah-sekolah pertanian dan teknik untuk mencetak tenaga ahli di bidang pertanian. Mulai dari sinilah teknologi pertanian mulai dan dapat berkembang di Indonesia (Gumilar, 2001)

3.2         Komunikasi Desa
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia dalam berhubungan dengan orang lain. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam komunikasi. Komunikasi itu sendiri adalah pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara pengirim dan penerima untuk mengubah tingkah laku. Pengirim pesan dapat berupa seorang individu, kelompok, atau organisasi. Begitu juga dengan penerima pesan. Proses komunikasi berlangsung melalui tahap-tahap tertentu secara terus menerus, berubah-ubah, dan tak henti-hentinya. Proses komunikasi merupakan proses yang timbal balik karena antara pengirim dan penerima saling mempengaruhi satu sama lain. Dan perubahan tingkah laku yaitu perubahan yang terjadi di dalam diri individu mungkin dalam aspek kognitif, afektif, atau psikomotor (Susanto, 1983).
Bentuk komunikasi di pedesaan lebih cenderung kepada komunikasi antar personal, yaitu proses pertukaran informasi di antara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya diantara dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya. Dengan bertambahnya orang yang terlibat dalam komunikasi, menjadi bertambahlah persepsi orang dalam kejadian komunikasi sehingga bertambah komplekslah komunikasi tersebut. Contoh: ketika di suatu desa akan diadakan kerja bakti atau gotong royong maka informasi itu akan cepat tersebar luas melalui satu orang kepada orang yang lainnya sehingga masyarakat akan turut dalam acara gotong royong tersebut (Purnomo, 2004).
Sebagian besar masyarakat mempunyai kepentingan pokok yang hampir sama untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka. Seperti pada waktu mendirikan rumah, upacara pesta perkawinan, memperbaiki jalan desa, membuat saluran air dan sebagainya, dalam hal-hal tersebut mereka akan selalu bekerjasama. Bentuk kerjasama dalam masyarakat itu disebut dengan istilah gotong royong dan tolong menolong (Purnomo, 2004).
Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga atau anggota masyarakat yang amat kuat yang hakikatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimana ia hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan sama-sama sebagai anggota masyarakat yang saling mencintai saling menghormati, mempunyai hak tanggungjawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama didalam masyarakat (Purnomo, 2004).
Ciri-ciri masyarakat pedesaan antara lain adalah sebagai berikut :
1.        Di dalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya.
2.        Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (Gemeinschaft atau paguyuban ).
3.        Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan ( part time ) yang biasanya sebagai pengisi waktu luang.
4.        Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adapt istiadat dan sebagainya.
Masyarakat Indonesia menurut para ahli lebih dari 80% tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian yang bersifat agraris. Corak kehidupan sosial di desa dapat dikatakan masih homogen. Pola-pola interkasi social pada suatu masyarakat ditentukan oleh struktur social masyarakat yang bersangkutan. Dalam interaksi social selalu diusahakan agar supaya kesatuan social (social unity) tidak terganggu, konflik atau pertentangan social sedapat mungkin dihindarkanjangan sampai terjadi. Bahkan kalau terjadi konflik diusahakan supaya konflik tersebut tidak terbuka di hadapan umum. Bila terjadi pertentangan diusahakan untuk dirukunkan karena memang prinsip kerukunan inilah yang menjiwai hubungan sosial pada masyarakat pedesaan karena masyarakat ini sangat mendambakan tercapainya keserasian dalam kehidupan masyarakat (Soerjono, 2010).
Tetapi pada hakekatnya masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunikasi yang terpisah satu sama lain. Tetapi dalam keadaan yang wajar di antara keduanya terdapat hubungan yang erat, bersifat ketergantungan, karena di antara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada desa dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan. Dan desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi jenis-jenis pekerjaan tertentu di kota (Susanto, 1983).
Masyarakat desa adalah sekelompok orang yang hidup bersama dan bekerjasama yang berhubungan secara erat tahan lama dengan sifat-sifat yang hamper sama (homogen) di suatu daerah atau wilayah tertentu dengan bermata pencaharian dominant dari sector pertanian (agraris). Sifat hakekat masyarakat pedesaan banyak kegotong royongan dan tolong menolong dan kehidupan desa juga tidak selamanya tenang dan damai tetapi juga terdapat ketegangan tertentu (Susanto, 1983).
Sedangkan system komunikasi yang digunakan oleh masyarakat desa cenderung berbentuk system komunikasi antar persona yaitu pesan disampaikan melalui satu orang kepada orang yang lainnya sehingga suatu berita di samapikan secara lisan dan akan mendapatkan feedback secara langsung sehingga masyarakat desa terlihat lebih kompak dan harmonis. Perkembangan tekonologi komunikasi dan informasi dewasa ini telah berkembang dengan sangat cepat. Tentu saja ini memberikan efek atau pengaruh yang ditimbulkan baik positif atau negatif. Mayoritas masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan memerlukan upaya-upaya dan program-program untuk meningkatkan kualitas pembangunan agar tidak semakin tertinggal dengan masyarakat perkotaan (Sairin, 2002).
Untuk mengejar ketertinggalan dan melaksanakan pembangunan termasuk masalah otonomi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tidak bisa bergantung pada satu program dari pusat (top-down) dan juga satu media, apalagi media massa yang rendah daya terimanya di masyarakat pedesaan. Tapi, diperlukan keterlibatan nyata berupa partisipasi masyarakat dalam menunjang program pemerintah tersebut. Dan salah satu media yang dapat dijadikan sarana untuk melibatkan masyarakat adalah menggunakan media rakyat, yang terbukti efektif dan tidak pernah berubah dalam kehidupan masyarakat tradisional. Dengan ini diharapkan semua pihak baik pemerintah dan masyarakat bisa menggunakan media rakyat dengan tepat dan efektif (Sairin, 2002).
3.3         Perubahan Sosial Desa
Disini yang dimaksud dengan aspek-aspek perubahan yaitu menyangkut tentang perubahan khusus dalam masyarakat desa yang diperkirakan penting untuk memahami kehidupan masyarakat desa. Hal ini dapat memperdalam pemahaman tentang dinamika kehidupan desa (Soekanto, 2010).
1.        Perubahan Kultural
Perubahan kultural (kebudayaan) adalah perubahan kebudayaan masyarakat desa dari pola tradisional menjadi bersifat modern. Dalam hal ini yang dimaksud adalah kebudayaan desa yang awalnya bersifat tradisional mulai dari alat yang digunakan, ideologi, pendidikan, sedikit demi sedikit menjadi berkembang ke arah yang lebih modern Yang menjadi titik tolak utama pengertian pola kebudayaan tradisional adalah yang dikemukakan oleh Paul H. Landis an Everett M. Rogers. Landis keberadaan pola kebudayaan tradisional tentukan oleh tiga faktor. Ketiga faktor itu adalah sejauh mana ketergantungan masyarakat terhadap alam, bagaimana tingkat teknolo­gi nya dan bagaimana sistem. produksinya.
Pola kebudayaan tradisional akan tetap eksis apabila masyarakat desa memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap alam, namun dengan tingkat teknologi yang tinggi, dan produksi yang hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ini berarti bahwa apabila ketergantungan terhadap alam berkurang atau bahkan hilang, tingkat teknologinya tinggi, dan produksi ditujukan untuk mengejar keuntungan (profit orientecl), maka kebudayaan tradisional menjadi kehilangan dasar eksistensinya Dan hal tersebut menunjukkan perubahan kultural pada masyarakat desa yang sudah terlihat. Selain hal tersebut meningkatnya teknologi pada masyarakat desa juga menunjukkan semakin berubahnya kebudayaan di desa, yang awalnya menggunakan alat pertanian yang sederhana, sekarang mulai maju dengan menggunakan teknologi-teknologi modern.
Hal tersebut tidak buruk karena dapat semakin memajukan desa kearah modern. Akan tetapi masih ada kendala dalam memajukan desa kea rah modern. Hal ini disebabkan karena cara hidup modern menuntut biaya tinggi. Sebaliknya, cara hidup tradisional adalah merupakan cara hidup yang relatif murah. Oleh karena itu, sekalipun misalnya penduduk telah mendapatkan dan menyerap pengetahuan baru dan budaya modern, namun pengaruhnya hanya sebatas sikap dan pandangan hidup saja. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan hidup modern karena masalah struktural, yakni karena mereka termasuk golongan miskin yang rendah tingkat keberdayaannya.




2.        Perubahan Struktural.
Struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu berhubungan satu dengan lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Struktur adalah sifat fundamental bagi setiap sistem. Identifikasi suatu struktur adalah suatu tugas subjektif, karena tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagian-bagiannya dan hubungan mereka. Karenanya, identifikasi kognitif suatu struktur berorientasi tujuan dan tergantung pada pengetahuan yang ada.
Banyak faktor yang tidak dapat dipungkiri yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial di masyarakat, misalnya datangnya perpindahan penduduk dengan berbagai ciri kebudayaan yang dibawanya, pola pendidikan, sistem ekonomi, politik pemerintahan dan banyak hal yang tak mungkin dipisahkan dari faktor-faktor individual, seperti data yang diambil dilapangan tercatat bahwa penduduk Desa Pattontongan asli punya pola kehidupan yang masih sederhana namun setelah datangnya penduduk yang bermigrasi ke Desa Pattontongan membawa ciri kebudayaan, pola pendidikan, sistem ekonomi, politik pemerintahan dan banyak hal yang tak mungkin dipisahkan dari faktor-faktor individual yang berpengaruh dengan secara tanpa disadari mampu mempengaruhi individu lainnya.

Faktor yang penting dalam kaitannya dengan pembicaraan ini adalah teknologi, yang sangat nyata berkaitan dengan perubahan sosial di masyarakat seperti yang ramai terpakai sekarang adalah pupuk organik. Hal ini terjadi karena pada pasca nasional ini, selalu dijadikan sasaran utama pembangunan. Seperti yang teramati dilapangan adalah sangat marak dipakai oleh masyarakat setempat ini menjadi salah satu akibat terjadinya pergeseran nilai-nilai sosial budaya dari masyarakat tersebut.
Pada masa sekarang ini kita dapat amati bahwa pembangunan indonesia sudah mencapai 60% sukses namun pembangunan untuk sumberdaya manusianya belum mencapai kesempurnaan ini dikarenakan teknologi tadi. Masyarakat desa menerima dan menggunakan hasil penemuan atau peniruan teknologi khususnya di bidang pertanian, yang merupakan orientasi utama pembangunan di Indonesia.
Menurut data yang dikumpulkan dilapangan tercatat sebanyak 70% masyarakat Desa Pattontongan yang berprofesi sebagai petani dan itu karena pengaruh teknologi terhadap bidang pertanian sehingga masyarakat harus beralih dari mata pencaharian yang mulanya sebagai tukang batu sewaktu masih di daerah mereka, namun akhirnya karena teknologi dan akibat dari perpindahan penduduk tadi maka mereka harus rela beralih dari mata pencaharian yang semula ke mata pencaharian yang baru yang sekarang mereka tekuni. Penerimaan terhadap teknologi baik itu dipaksakan ataupun inisiatif agen-agen perubah, tidak terelakkan lagi akan mempengaruhi perilaku sosial (social behavior) dalam skala atau derajat yang besar. Lebih dari itu, introduksi teknologi yang tidak tepat mempunyai implikasi terhadap perubahan sosial, yang kemudian akan diikuti dan diketahui akibatnya. Contohnya, ketika teknologi berupa pupuk pestisida yang dulunya tidak pernah ada dan masyarakat hanya mengandalkan temuan-temuan mitos untuk menanggulangi hama yang menyerang tanaman mereka namun kini terlihat bahwa setelah penemuan teknologi dan menghasilkan produk baru maka sangat berdampak terhadap perubahan yang terjadi pada masyarakat tersebut.
Keadaan ini menimbulkan perubahan struktur, kultur dan interaksional di Desa Pattontongan. Perubahan dalam suatu aspek akan merembet ke aspek lain. Struktur keluarga berubah, di mana wanita yang hanya biasa sebagai menumbuk padi sebagai penghasilan tambahan, sekarang hanya tinggal di rumah. Produk baru akibat temuan dari teknologi tadi maka menyebabkan mitos-mitos yang ada di masyarakat tadi akan secara perlahan-lahan akan hilang.
3.4         Dampak Perubahan Sosial
Perjalanan proses pembangunan tidak selamanya mampu memberikan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat di pedesaan. Pembangunan yang dilakukan di masyarakat desa akan menimbulkan dampak sosial dan budaya bagi masyarakat seperti yang terjadi pada Desa Pattontongan, kecamatan Mandai, kabupaten Maros. Pendapat ini pada berlandaskan pada asumsi pembangunan itu adalah proses perubahan (sosial dan budaya). Selain itu, masyarakat pedesaan tidak dapat dilepaskan dari unsur pokok pembangunan itu sendiri, seperti teknologi dan birokrasi.
Teknologi dan birokrasi merupakan perangkat canggih pembangunan namun dilain sisi perangkat tersebut berhadapan dengan masyarakat pedesaan yang masih tradisional dengan segala kekhasannya. Apalagi jika unsur-unsur pokok tersebut langsung diterapkan tanpa mempertimbangkan aspek sosial, budaya, agama dan lain-lain, maka jangan harap pembangunan akan berhasil. Pihak birokrasi akan sangat memerlukan usaha yang sangat ekstra jika pola kebijakan yang dikeluarkan tidak tepat sasaran dan tidak berlandaskan pada kebutuhan masyarakat khususnya di pedesaan (Susanto, 1983).
Indonesia merupakan negara yang kaya dengan sumber daya alamnya dan sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan agrarian. Tak salah jika kemudian kurang lebih 60% penduduknya berkecimpung di dunia pertanian dan umumnya berada di pedesaan. Dengan demikian, masyarakat desa yang agraris menjadi sasaran utama introduksi tekhnologi segala kepentingan, kemajuan pertanian sangat melibatkan unsur-unsur pokok tersebut. Oleh sebab itu, masyarakat agrarislah yang pertama menderita perubahan sosial (Susanto, 1983).
Namun tetap perlu diperhatikan bahwa setiap masyarakat mempunyai “ego”nya dalam segala bidang termasuk aspek teknologi dan kebijakan birokrasi. Perubahan yang diharapkan dengan mengintroduksi tekhnologi seharusnya sesuai dengan apa yang menjadi ego masyarakat tersebut, sehingga pola perubahan dapat diterima oleh masyarakat. Karena setiap kebijakan dan introduksi tekhnologi yang diberikan pada masyarakat agraris di pedesaan akan memberikan dampak perubahan sosial yang multi dimensional (Sairin, 2002).
Pelaksanaan kebijakan teknologi pertanian mempunyai jalinan yang sangat kuat dengan aspek-aspek lainnya. Jika kita perincikan dimensi-dimensi perubahan tersebut, maka akan terlihat sangat nyata terjadi perubahan dalam struktur, kultur dan interaksional. Perubahan sosial dalam tiga dimensi ini, kalau dibiarkan terus akan merusak tatanan sosial masyarakat desa. Maka dari itu sangat dibutuhkan kajian yang sangat mendalam untuk mencegah dampak negatif dari kebijakan birokrasi dan asupan teknologi yang mengiringinya terhadap masyarakat dan aparat yang menjalaninya (Sairin, 2002).
Terdapat beberapa tanggapan masyarakat sebagai dampak perubahan sosial yang menimbulkan suatu ketidakpuasan, penyimpangan masyarakat, ketinggalan, atau ketidaktahuan adanya perubahan, yaitu sebagai berikut.
1.         Perubahan yang diterima masyarakat kadang-kadang tidak sesuai dengan keinginan. Hal ini karena setiap orang memiliki gagasan mengenai perubahan yang mereka anggap baik sehingga perubahan yang terjadi dapat ditafsirkan bermacam-macam, sesuai dengan nilai-nilai sosial yang mereka miliki.
2.         Perubahan mengancam kepentingan pihak yang sudah mapan. Hak istimewa yang diterima dari masyarakat akan berkurang atau menghilang sehingga perubahan dianggapnya akan mengancangkan berbagai aspek kehidupan. Untuk mencegahnya, setiap perubahan harus dihindari dan ditentang karena tidak sesuai kepentingan kelompok masyarakat tertentu.
3.         Perubahan dianggap sebagai suatu kemajuan sehingga setiap perubahan harus diikuti tanpa dilihat untung ruginya bagi kehidupan. Pembahan juga dianggap membawa nilai-nilai baru yang modern.
4.         Ketidaktahuan pada perubahan yang terjadi. Hal ini meng­akibatkan seseorang ketinggalan informasi tentang perkem­bangan dunia.
5.         Masa bodoh terhadap perubahan. Hal itu disebabkan perubahan sosial yang terjadi dianggap tidak akan menimbulkan pengaruh bagi dirinya.
6.         Ketidaksiapan menghadapi perubahan. Pengetahuan dan kemampuan seseorang terbatas, dampak perubahan sosial yang terjadi ia tidak memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
IV.     PENUTUP
4.1       Kesimpulan
            Adapun kesimpulan dari pembahasan di atas adalah sebagai berikut:
·         pembangunan tidak selamanya mampu memberikan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat di pedesaan.
·         Banyak faktor yang tidak dapat dipungkiri yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial di masyarakat, misalnya datangnya perpindahan penduduk dengan berbagai ciri kebudayaan
·          


4.2         Saran













DAFTAR PUSTAKA
Anonim1. 2012. Teknologi Pertanian. http://id.wikipedia.org/wiki/dalam www.google.com. Diakses pada tanggal 25 November 2012 pukul 19.30 WITA, Makassar
Anonim2. 2012. http://mster-al.blogspot.com/2012/10/makalah- desa_4.html. diakses pada tanggal 25 November 2012 pukul 20.00 wita, Makassar.
Anonim3. 2012. http://www.kemsos.go.id/unduh/Komunikasi_Berketahanan_ Sosial.pdf. Diakses pada tanggal 25 November 2012 pukul 20.00 WITA, Makassar

Anonim4. 2012. http://news.detik.com/read/2011/09/12/081621/1719955/471 /perubahan-sosial-pedesaan. Diakses pada tanggal 25 November 2012 pukul 20.17 WITA, Makassar

Anonim5. 2012. http://ekopolnawar.blogspot.com/2010/02/perubahan-sosial-desa.html. Diakses pada tanggal 25 November 2012 pukul 21.00 WITA, Makassar

Aris Tanudirjo, Daud. 1993. Sejarah Perkembangan Budaya di Dunia dan di Indonesia. Yogyakarta:Widya Utama

Gumgum Gumilar, 2001. Teori Perubahan Sosial. Unikom. Jakarta. Kanisisus
Purnomo, Mangku, 2004, Pembaharuan Desa, Pustaka Yogya Mandiri, Yogyakarta
Sairin, Sjafri, 2002, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Sholihah, Nikmatus, 2006. Gender dan Jenis Kelamin. Yogyakarta:Widya Utama
Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.
Susanto, S, Astrid, 1983, Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial, Binacipta
Tarigan, Robinson, 2005, Perencanaan Pembangunan Wilayah, Bumi Aksara, Jakarta






Tidak ada komentar:

Posting Komentar