I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Komunikasi
pada masa dahulu dan hingga masa sekarang merupakan merupakan kaitan interkasi
sosial makhluk hidup satu sama lain yang ditiap sisi kehidupan adalah merupakan
asumsi-asumsi penggerak akan hal yang dirancangkan. Komunikasi adalah proses pengiriman dan
penerimaan informasi atau pesan antara dua orang atau lebih dengan cara yang
efektif, sehingga pesan yang dimaksud dapat dimengerti. Komunikasi berlangsung
apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan
kata lain, komunikasi adalah proses membuat pesan yang setara bagi komunikator
dan komunikan (Anonim 1, 2012).
Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial,
norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang,
interaksi sosial dan lain sebagainya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat dunia dewasa ini merupakan
gejala yang normal. Pengaruhnya bisa menjalar dengan cepat ke bagian-bagian
dunia lain berkat adanya komunikasi modern (Anonim 2, 2012).
Setiap masyarakat manusia selama
hidup pasti mengalami perubahan-perubahan, yang dapat berupa perubahan yang
tidak menarik dalam arti kurang mencolok. Ada pula perubahan-perubahan yang
pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang
lambat sekali, tetapi ada juga yang berjalan dengan cepat. Perubahan-perubahan
hanya akan dapat ditemukan oleh seseorang yang sempat meneliti susunan dan
kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan
dan kehidupan masyarakat pada waktu yang lampau. Seseorang yang tidak sempat
menelaah susunan dan kehidupan masyarakat desa di Indonesia misalnya akan
berpendapat bahwa masyarakat tersebut statis, tidak maju, dan tidak berubah.
Pernyataan demikian didasarkan pada pandangan sepintas yang tentu saja kurang
mendalam dan kurang teliti karena tidak ada suatu masyarakat pun yang berhenti
pada suatu titik tertentu sepanjang masa. Orang-orang desa sudah mengenal
perdagangan, alat transportasi modern, bahkan dapat mengikuti berita-berita
mengenai daerah lain melalui radio, televisi, dan sebagainya yang kesemuanya
belum dikenal sebelumnya (Anonim 3, 2012
Penemuan-penemuan baru di bidang teknologi yang terjadi di suatu tempat
dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat lain yang berada jauh dari tempat
tersebut. Perubahan dalam masyarakat memang
telah ada sejak zaman dahulu. Namun, dewasa ini perubahan-perubahan tersebut
berjalan dengan sangat cepatnya sehingga membingungkan manusia yang
menghadapinya, yang sering berjalan konstan. Perubahan memang terikat oleh
waktu dan tempat. Akan tetapi, karena sifatnya yang berantai, perubahan
terlihat berlangsung terus, walau diselingi keadaan di mana masyarakat mengadakan
reorganisasi unsur-unsur struktur masyarakat yang terkena perubahan.
Berdasarkan hal tersebut maka akan dibahas lebih lanjut
mengenai komunikasi dan perubahan sosial di Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Takalar.
1.2
Maksud dan Tujuan
Maksud diadakannya praktek lapang
ini adalah Sebagai sarana
komunikasi antara mahasiswa dengan masyarakat serta memberikan kesempatan
kepada mahasiswa untuk beradaptasi dengan suasana yang di Desa
Pattontongan.
Tujuan diadakannya praktek lapang Komunikasi dan Perubahan
Sosial ini adalah :
1.
Memahami
inovasi-inovasi dan komunikasi yang ada di Desa Pattontongan.
2.
Memahami aspek-aspek perubahan sosial pada masyarakat desa dan dampak perubahan
sosial yang ada di
Desa Pattontongan.
II.
KONDISI UMUM DESA
2.1
Sejarah Administrasi dan Komunitas Desa
Wilayah Kabupaten
Maros dalam sejarahnya telah mengalami pemekaran wilayah. Pada tahun 1963,
Kabupaten Maros terbagi atas 4 (empat) kecamatan, yakni Kecamatan Maros Baru,
Bantimurung, Mandai, dan Camba. Memasuki tahun 1989, diadakan pemekaran wilayah
kecamatan dengan dibentuknya 3 (tiga) kecamatan perwakilan, yakni Kecamatan
Perwakilan Tanralili, Maros Utara, dan Mallawa, yang hingga saat ini saat ini
terdapat 14 wilayah kecamatan. Kecamatan mandai memiliki luas wilayah sekitar
49,11 km, yang terdiri dari Kelurahan Baji Mangai, Kelurahan Bontoa, Kelurahan
Hasanuddin, Desa Pattontongan, Desa Bonto Mate’ne, dan Desa Tenrigangke.
Sejarah terbentuknya Desa Pattontongan secara
administratif, Desa Pattontongan merupakan hasil pemekaran dari Desa Tenrigangkae yang terbentuk sekitar 27 tahun yang lalu yaitu pada
tahun 1985. Ada 2
kepala Desa yang telah menjabat. Yaitu, Bapak H. A. Abdul Razak selama 2
periode, Bapak Made Saputra selama 2 periode dan yang menjabat sekarang sebagai
kepala Desa Pattontongan adalah Bapak Jafar.
Luas wilayah Desa Pattontongan yaitu 11,47 km2, yang terdiri dari 4 (empat) dusun yaitu Dusun Pattontongan, Dusun Mangento, Dusun Bangungpolea, dan Dusun Tolo. Jumlah penduduk Desa Pattontongan sebesar 1.955 jiwa terdiri dari 985 penduduk berjenis
kelamin pria dan penduduk berjenis kelamin 970 perempuan.serta terdiri dari 455
kepala rumah tangga. Berdasarkan
topografinya sebanyak 2 dusun (50%) adalah daerah datar yaitu
Dusun Pattontongan dan
Dusun Mangento sedangkan 2 dusun (50%) merupakan daerah yang kondisinya
berbukit-bukit yaitu Dusun
Bangungpolea, dan Dusun Tolo.
Jarak Desa Pattontongan dari kecamatan adalah 7 km, jarak Desa Pattontongan ke kota kecamatan adalah 12 km. Dalam
kedudukannya, Desa Pattontongan
memegang peranan penting terhadap pembangunan Kabupaten Maros karena sebagaian
besar daerahnya memiliki lahan pertanian yang luas dan dengan sendirinya memberikan peluang yang sangat
besar terhadap pembangunan di Kabupaten Maros. Desa Pattontongan secara administrasi
wilayah berbatasan dengan :
Ø
Sebelah
Utara berbatasan dengan Desa Tenrigangkae
Ø
Sebelah
Timur berbatasan dengan Desa Purna Karya
Ø
Sebelah
Selatan berbatasan dengan Desa Bontomarannu
Ø
Sebelah
Barat berbatasan dengan desa Baji Mangai.
2.2
Kondisi Sosial Ekonomi
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya harus melakukan aktifitas ekonomi
yang meliputi bidang yang berhubungan langsung dengan alam, seperti pertanian,
perikanan, pertambangan dan sebagainya.
Secara tidak langsung bahwa sistem sosial budaya memiliki sifat
pendorong maupun membatasi perilaku yang dapat berubah. Di samping itu unsur-unsur internal tersebut tidak dapat
sepenuhnya terlepas, namun diwarnai oleh unsur-unsur eksternal yang berasal
dari lingkungan di luar yang menyebabkan sistem perekonomian menjadi semakin
kompleks. Unsur-unsur eksternal seperti kondisi sosial dan ekonomi yang berupa keadaan pendidikan, kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah. Kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan nampaknya menjadi sebab
sebab perubahan yang kesemuanya merupakan variabel-variabel yang saling berkait
dalam hubungannya dengan tumbuh dan berkembangnya usahatani Desa Pattontongan.
Upaya yang dicapai oleh masyarakat Desa Pattontongan dalam mengembangkan
usahatani di desanya mendorong terjadinya perubahan sistem perekonomian dan akan menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan pada sistem hubungan atau kehidupan sosial. Faktor
lingkungan sebagai unsur eksternal secara tidak langsung juga telah
mempengaruhi aktivitas ekonomi yang telah memicu munculnya pengembangan
usahatani itu sendiri. Penambahan jumlah lahan persawahan merupakan salah satu
usaha pemanfaatan lahan secara intensif.
Lahan untuk pertanian yang digunakan penduduk Desa Pattontongan adalah lahan yang cukup
terbatas, karena adanya pengalihan lahan persawahan menjadi lahan untuk
mendirikan bangunan. Aktivitas kerja yang dilakukan oleh masyarakat Pattontongan kiranya merupakan upaya pencapaian dalam pengembangan yang didukung oleh etos kerja yang tinggi.
mendirikan bangunan. Aktivitas kerja yang dilakukan oleh masyarakat Pattontongan kiranya merupakan upaya pencapaian dalam pengembangan yang didukung oleh etos kerja yang tinggi.
Masyarakat dalam melakukan aktivitasnya didorong oleh motivasi kerja yang
akan membuahkan hasil yang dapat dinikmati oleh masyarakat yang bersangkutan.
Semua unsur tersebut diatas tampaknya menyebabkan berubahnya pola kehidupan
sosial ekonomi masyarakat di Desa Pattontongan.
2.2.1
Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan
fungsi biologi laki-laki dan perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka
dalam menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan (Sholihah, 2006).
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan
kerja dan juga sangat menentukan dalam klasifikasi pembagian kerja. Berdasarkan
data sekunder, penduduk Desa Pattontongan dapat dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai,
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Jenis
Kelamin
|
Jumlah
Penduduk (Jiwa)
|
Persentase
(%)
|
Laki-Laki
|
985
|
50,38
|
Perempuan
|
970
|
49,62
|
Jumlah
|
1955
|
100
|
Sumber: Data Sekunder Setelah Diolah, 2012.
2.2.2 Penduduk
Berdasarkan Mata Pencaharian
Mata pencaharian atau
pekerjaan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, karena tanpa
pekerjaan kita akan mengalami kesulitan dalam hidup kita. Memilih pekerjaan
yang akan kita kerjakan adalah penting sekali sebab bila kita salah memilih
perkerjaan, kita akan merasa selalu tidak puas dan menderita (Anonim 4, 2009).
Tabel 2. Jumlah penduduk berdasarkan
mata pencaharian di Desa Pattotongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros,
Sulawesi Selatan, 2012.
No
|
Mata Pencaharian
|
Jumlah Penduduk (Jiwa)
|
Persentase
(%)
|
1
|
Petani
|
696
|
48
|
2
|
Peternak
|
444
|
30,6
|
3
|
PNS
|
4
|
0,3
|
4
|
Wiraswasta
|
158
|
10,9
|
5
|
Buruh bangunan
|
26
|
1,8
|
6
|
Pedagang
|
122
|
8,4
|
Jumlah
|
1.450
|
100
|
Sumber : Data Sekunder,2012.
Tabel 2 menunjukkan bahwa penduduk di Desa
Pattontongan yang bekerja sebagai petani sebanyak 696 jiwa (48%), peternak
sebanyak 444 jiwa (30,6%), PNS (Pegawai Negeri Sipil) sebanyak 4 jiwa (0,3%),
wiraswasta sebanyak 158 jiwa (10,9%), buruh bangunan sebanyak 26 jiwa (1,8%)
dan pedagang sebanyak 122 jiwa (8,4%). Mata pencaharian di Desa
Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros lebih dominan seorang petani
dari pada buruh bangunan, hal ini sesuai dengan pendapat Soekanto (2012)
yang menyatakan bahwa umumnya penduduk di desa memiliki mata pencaharian
sebagai petani di mana di pedesaan memiliki lahan yang luas dan cocok untuk
pertanian.
2.2.3 Penduduk
Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat
pendidikan menentukan pola pikir serta sikap seseorang dalam menyikapi
perubahan-perubahan serta fakta sosial yang terjadi di dalam suatu tatanan
masyarakat. Kemampuan untuk menelaah dan menganalisa masalah juga dapat
dihasilkan dari seberapa jauh tingkat pendidikan yang mereka ditempuh
(Sholihah, 2006). Berikut adalah tabel
mengenai jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros :
Tabel 3. Penduduk
Berdasarkan Tingkat Pendidikan Desa
Pattontongan, Kecamatan
Mandai,
Kabupaten Maros,
2012.
Tingkat
Pendidikan
|
Frekuensi
|
Persen
|
Pra Sekolah
SD
SMP
SMA
Sarjana
|
402
236
104
78
6
|
48,7
28,6
12,6
9,4
0,7
|
Jumlah
|
826
|
100,0
|
Sumber : Data Sekunder, 2012.
Berdasarkan tabel 3 diatas,
memperlihatkan bahwa kesadaran masyarakat di Desa Patontongan akan pentingnya pendidikan
masih rendah. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya penduduk pra sekolah
dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu 402 (48,7%) orang. Sedangkan untuk
tingkat SD sampai Perguruan Tinggi masing-masing sebanyak 236 (38,6%) orang
untuk tingkat SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 104 (12,6%) orang,
Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 78 (9,4%) orang, dan Perguruan Tinggi (PT)
sebanyak 6 (0,7%) orang.
Tingkat
pendidikan yang diperoleh penduduk di Desa Pattontongan beragam pada jenjangnya
masing-masing. Berdasarkan tingkat atau jenjang pendidikan
yang telah ditamatkan penduduk dapat dikelompokkan dalam tingkat SD, SLTP,
SLTA, dan Perguruan Tinggi. Pengelompokkan ini dapat digunakan untuk menentukan
besarnya tingkat pendidikan penduduk. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh
seseorang memberi pengaruh besar terhadap kehidupannya. Tingkat pendidikan yang
dimiliki oleh petani merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
pengelolaan usahataninya. Hal ini sejalan dengan pendapat Sholihah (2006) bahwa tingkat pendidikan berkaitan dengan kemampuan dalam
menyerap dan menerima informasi. Masyarakat yang memiliki pendidikan lebih
tinggi pada umumnya memiliki pengetahuan yang lebih luas sehingga lebih mudah
dalam menyerap dan menerima informasi serta berperan serta secara aktif dalam
mengatasi masalah.
2.3
Kondisi Sarana dan Prasarana
Sarana adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk
penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya meliputi
sarana pendidikan, kesehatan, peribadatan, olahraga, dan lain-lain. Prasarana
adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan
permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya meliputi jalan, listrik,
telekomunikasi, air bersih, drainase, persampahan, dan air kotor (Purnomo, 2004).
Lancarnya perekonomian suatu daerah
sangat dipengaruhi oleh jumlah sarana dan prasarana yang terdapat pada daerah
tersebut, baik sarana bangunan maupun sarana perhubungan. Jika suatu daerah mempunyai sarana yang memadai serta
ditunjang oleh sumber daya alam yang cukup, maka kegiatan pertanian atau
perekonomian pada daerah tersebut berjalan lancar. Sarana perhubungan dan
komunikasi dapat membantu mempercepat
informasi segala macam yang berhubungan dengan pertanian. Tersedianya sarana
dan prasarana pendidikan dan keagamaan hal yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat yang berpendidikan disertai dengan ketekunan dalam menjalankan
ibadah merupakan syarat utama dalam pembangunan nasional. Sarana di bidang
kesehatan sangat diperlukan dalam mengelola usahatani agar dapat berjalan
lancar (Purnomo, 2004).
2.3.1 Sarana Pendidikan
Pendidikan
berkenaan dengan perkembangan dan perubahan kelakuan in dividu. Pendidikan bertalian dengan transmisi
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek lainnya terhadap
interaksi sosial. Hampir segala sesuatu yang kita alami merupakan hasil
hubungan kita di rumah, sekolah, tempat pekerjaan, dan sebagainya sehingga
diperlukan sarana pendidikan (Sholihah, 2006).
Berdasarkan data sekunder, penduduk
Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros berdasarkan jumlah sarana
pendidikan yang tersedia ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel
4.
Jumlah Sarana
Pendidikan Yang Tersedia di Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten
Maros, 2012.
No.
|
Jenis Sarana
|
Jumlah (Buah)
|
Persentase (%)
|
1.
|
Gedung
TK
|
1
|
50
|
2.
|
Gedung
SD
|
1
|
50
|
3.
|
Gedung
SLTP
|
-
|
-
|
4.
|
Gedung
SMU
|
-
|
-
|
5.
|
Gedung
TPA
|
-
|
-
|
Jumlah
|
2
|
100
|
Sumber:
Data Sekunder setelah diolah, 2012
Tabel
4 menunjukkan bahwa sarana pendidikan
khususnya untuk bangunan Taman Pendidikan Al Quran (TPA) di Desa Pattontongan tidak ada tetapi hanya menggunakan rumah bagi orang yang bersukarela.Bangunan
Taman Kanak-Kanak (TK) sebayak 1 buah bangunan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 2 buah, sedangkan SLTP dan SMU tidak ada. Rendahnya tingkat pendidikan
penduduk di Kelurahan Parangbanoa disebabkan tidak tersedianya sarana
pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutejo (2010) bahwa wilayah pedalaman sangat
kurang menyediakan sarana pendidikan yang diharapkan mampu menopang pendidikan
masyarakat.
2.3.2 Sarana Peribadatan
Sarana peribadatan merupakan sarana kehidupan untuk
mengisi kebutuhan rohani yang perlu disediakan dilingkungan perumahan yang
direncanakan selain sesuai peraturan yang ditetapkan, juga sesuai dengan
keputusan masyarakat yang bersangkutan. Tempat-tempat ibadah merupakan salah
satu sarana tempat-tempat umum yang dipergunakan untuk berkumpulnya masyarakat
guna melaksanakan kegiatan ibadah (Tanudirjo, 1993).
Berdasarkan data sekunder, penduduk Desa Pattontongan,
Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros berdasarkan jumlah sarana peribadatan yang
tersedia ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 5. Jumlah Sarana
Peribadatan Yang Tersedia di Desa Pattontongan,
Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, 2012.
No.
|
Tempat Ibadah
|
Jumlah (Buah)
|
1.
|
Mesjid
|
4
|
2.
|
Gereja
|
-
|
3.
|
Wihara
|
-
|
4.
|
Pura
|
-
|
Jumlah
|
4
|
Sumber: Data Sekunder Setelah Diolah, 2012
Berdasarkan tabel 5 di atas menunjukkan
bahwa fasilitas tempat ibadah di Desa Pattontongan masih sangat minim. Jumlah
mesjid yang terdapat di desa tersebut sebanyak 4 buah sedangkan untuk
gereja, wihara, dan pura tidak terdapat di
Desa Pattontongan. Ini dapat membuktikan bahwa rata-rata
penduduk di Desa Pattontongan beragama Islam. Hal ini sesuai dengan pendapat Connie (2011) bahwa
mesjid merupakan tempat ibadah yang diperuntukkan kepada umat muslim. Sarana
peribadatan merupakan tempat yang penting bagi umat beragama.
III.
KOMUNIKASI DAN INOVASI DESA
3.1
Inovasi – inovasi Desa dalam Lima Tahun Terakhir
Teknologi pertanian pada dasarnya adalah penerapan dari
ilmu-ilmu teknik pada kegiatan pertanian atau dalam pengertian lain dan lebih
luas yaitu suatu penerapan prinsip-prinsip matematika dan sains dalam rangka
pendayagunaan sumber daya pertanian dan sumber daya alam secara ekonomis untuk
kesejahteraan manusia
(Anonim 6, 2012)
Pertanian dan teknologi sangatlah
tidak dapat dipisahkan untuk zaman sekarang ini. Keduanya jalan bersamaan dalam
proses pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahtareaan manusia melalui
ketahanan pangan dan produk-produk sandang dan papan. Ilmu dan teknoogi
pertanian secara luas mencakup berbagai penerapan ilmu yang terfokus pada
budidaya, pemeliharaan, pemanenan, peningkatan mutu hasil panen, penanganan,
pengelolaan dan pengamanan hasil, dan pemasaran hasil sebagai objek formal ilmu
pertanian tersebut
(Soekanto, 2010)
Sebelum membahas masalah dan perkembangan teknologi
pertanian di Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu perkembangan pertanian
di Indonesia yang di dalamnya diterapkan teknologi pertanian baik teknologi
sederhana maupun sudah sampai teknologi mutakhir. Pertanian khususnya di
Indonesia mulai berkembang
sekitar tahun 1975. Pertanian tersebut terbagi ke dalam tiga generasi. Generasi
I yaitu generasi pertanian yang menghasilkan bibit. Generasi II yaitu generasi
penghasil komoditas pertanian. Generasi III yaitu generasi yang meningkatkan
nilai tambah hasil pertanian atau dengan kata lain agroindustri. Ketiga
generasi tersebut tidak dapat berjalan sendiri-sendiri karena ketiganya saling
mendukung. Generasi I pertanian menghasilkan bibit bagi pertanian melalui
pertanian bibit yang merupakan input bagi generasi II pertanian sehingga
menghasilkan suatu komoditi. Kemudian komoditi yang dihasilkan generasi II
pertanian yang meliputi hewan, tumbuhan, dan mikroba dijadikan input bagi
generasi III pertanian yaitu agroindustri untuk diolah menjadi produk yang
mempunyai nilai yang lebih tinggi dari generasi-generasi sebelumnya baik dari
segi fungsionalnya maupun nilai ekonomisnya
(Astrid, 1983)
Pada generasi I, menghasilkan bibit pertanian dapat
dilakukan dengan berbagai metode dalam ilmu dan teknologi pertanian seperti
penyeleksian, persilangan, dan rekayasa genetika. Pertanian generasi II
menghasilkan komoditas pertanian dengan melakukan budidaya yang menerapkan
segenap ilmu dan teknologi mulai dari penyiapan lahan hingga pemanenan. Untuk
generasi agroindustri, teknologi yang diterapkan lebih banyak lagi dan
teknologi tersebut saling terintegrasi untuk membangun suatu agroindustri yang
baik. Teknologi yang digunakan pada pertanian generasi III ini antara lain,
bioteknologi, kimia pangan, teknologi rekayasa proses, teknik dan sistem industri,
pengemasan, penyimpanan, distribusi dan transportasi, dan bahkan nanoteknologi (Astrid, 1983)
Bukti, kaitan
ketiganya saling tidak dapat terlepas yaitu apabila salah satu generasi tidak
ada atau tidak berjalan akan ‘mengkerdilkan’ fungsi generasi lainnya. Misalnya,
kegiatan agroindustri yang sangat buruk di suatu negara yang tidak dapat
mengangkat potensi komoditas-komoditas pertaniannya
ke dalam produk bernilai tinggi akan mematisurikan potensi komoditas yang
dihasilkan pertanian generasi II dan kegunaan pertanian generasi I tidak
maksimal, dalam arti hanya sebatas penggunaan bibit untuk menghasilkan
komoditas, tidak menghasilkan produk, padahal bibit yang dihasilkan (pada
generasi I) juga dapat
dijadikan input untuk generasi agroindustri yaitu industri bibit yang tentunya
disandarkan pada teknologi pertanian bibit dalam pengembangannya. Begitu pula
apabila generasi II tidak menghasilkan komoditas pertanian yang berkualitas dan
berkuantitas baik, maka generasi agroindustri akan kesulitan mendapat bahan
baku industrinya. Hal ini bisa saja dikarenakan generasi I penghasil bibit
menghasilkan bibit yang kurang dalam segi kualitas. Terbukti bahwa ketiga
generasi tersebut saling mendukung. Ketiga generasi tersebut akan tetap
berjalan sejak dan selama pertanian dan ilmu pengetahuan dan teknologi ada di
bumi ini (Gumilar, 2001).
Sejarah adanya teknologi pertanian di Indonesia tidak
dapat terlepas dari sejarah Indonesia itu sendiri. Indonesia yang pada era
perang dunia I diduduki oleh kolonial Belanda menjadi ‘tempat’ pertanian
pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam hal pemenuhan kebutuhan mereka. Untuk
melaksanakan progamnya, pemerintah Hindia Belanda yang sebelumnya mendatangkan
tenaga ahli pertanian, karena adanya peperangan, mereka mendapatan kesulitan
untuk terus mengirim tenaga ahli dari Belanda. Untuk mengatasi masalah tersebut,
kemudian mereka membangun sekolah-sekolah pertanian dan teknik untuk mencetak
tenaga ahli di bidang pertanian. Mulai dari sinilah teknologi pertanian mulai
dan dapat berkembang di Indonesia
(Gumilar, 2001)
3.2
Komunikasi Desa
Komunikasi
merupakan aktivitas dasar manusia dalam berhubungan dengan orang lain. Dengan
berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam
kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, dalam
masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan
terlibat dalam komunikasi.
Komunikasi itu
sendiri adalah pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara pengirim dan
penerima untuk mengubah tingkah laku. Pengirim pesan dapat berupa seorang
individu, kelompok, atau organisasi. Begitu juga dengan penerima pesan. Proses
komunikasi berlangsung melalui tahap-tahap tertentu secara terus menerus,
berubah-ubah, dan tak henti-hentinya. Proses komunikasi merupakan proses yang
timbal balik karena antara pengirim dan penerima saling mempengaruhi satu sama
lain. Dan perubahan tingkah laku yaitu perubahan yang terjadi di dalam diri
individu mungkin dalam aspek kognitif, afektif, atau psikomotor (Susanto, 1983).
Bentuk komunikasi di pedesaan lebih cenderung kepada
komunikasi antar personal, yaitu proses
pertukaran informasi di antara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya
atau biasanya diantara dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya.
Dengan bertambahnya orang yang terlibat dalam komunikasi, menjadi bertambahlah
persepsi orang dalam kejadian komunikasi sehingga bertambah komplekslah
komunikasi tersebut. Contoh: ketika di suatu desa akan diadakan kerja bakti atau
gotong royong maka informasi itu akan cepat tersebar luas melalui satu orang
kepada orang yang lainnya sehingga masyarakat akan turut dalam acara gotong
royong tersebut
(Purnomo, 2004).
Sebagian besar
masyarakat mempunyai kepentingan pokok yang hampir sama untuk mencapai
kepentingan-kepentingan mereka. Seperti pada waktu mendirikan rumah, upacara
pesta perkawinan, memperbaiki jalan desa, membuat saluran air dan sebagainya,
dalam hal-hal tersebut mereka akan selalu bekerjasama. Bentuk kerjasama dalam
masyarakat itu disebut dengan istilah gotong royong dan tolong menolong (Purnomo, 2004).
Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan
perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga atau
anggota masyarakat yang amat kuat yang hakikatnya, bahwa seseorang merasa
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimana ia hidup
dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi
masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan sama-sama
sebagai anggota masyarakat yang saling mencintai saling menghormati, mempunyai
hak tanggungjawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama
didalam masyarakat
(Purnomo, 2004).
Ciri-ciri masyarakat pedesaan antara lain adalah sebagai
berikut :
1.
Di dalam masyarakat pedesaan di antara warganya
mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan
masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya.
2.
Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar
kekeluargaan (Gemeinschaft atau paguyuban ).
3.
Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian.
Pekerjaan-pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan ( part
time ) yang biasanya sebagai pengisi waktu luang.
4.
Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata
pencaharian, agama, adapt istiadat dan sebagainya.
Masyarakat Indonesia menurut para ahli lebih dari 80%
tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian yang bersifat agraris. Corak
kehidupan sosial di desa
dapat dikatakan masih homogen. Pola-pola interkasi social pada suatu masyarakat
ditentukan oleh struktur social masyarakat yang bersangkutan. Dalam interaksi
social selalu diusahakan agar supaya kesatuan social (social unity) tidak
terganggu, konflik atau pertentangan social sedapat mungkin dihindarkanjangan
sampai terjadi. Bahkan kalau terjadi konflik diusahakan supaya konflik tersebut
tidak terbuka di hadapan umum. Bila terjadi pertentangan diusahakan untuk
dirukunkan karena memang prinsip kerukunan inilah yang menjiwai hubungan sosial
pada masyarakat pedesaan karena masyarakat ini sangat mendambakan tercapainya
keserasian dalam kehidupan masyarakat
(Soerjono, 2010).
Tetapi pada hakekatnya masyarakat pedesaan dan perkotaan
bukanlah dua komunikasi yang terpisah satu sama lain. Tetapi dalam keadaan yang
wajar di antara keduanya terdapat hubungan yang erat, bersifat ketergantungan,
karena di antara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada desa dalam
memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan. Dan desa juga merupakan
sumber tenaga kasar bagi jenis-jenis pekerjaan tertentu di kota (Susanto, 1983).
Masyarakat desa adalah sekelompok orang yang hidup
bersama dan bekerjasama yang berhubungan secara erat tahan lama dengan
sifat-sifat yang hamper sama (homogen) di suatu daerah atau wilayah tertentu
dengan bermata pencaharian dominant dari sector pertanian (agraris). Sifat
hakekat masyarakat pedesaan banyak kegotong royongan dan tolong menolong dan
kehidupan desa juga tidak selamanya tenang dan damai tetapi juga terdapat
ketegangan tertentu
(Susanto, 1983).
Sedangkan system komunikasi yang digunakan oleh
masyarakat desa cenderung berbentuk system komunikasi antar persona yaitu pesan
disampaikan melalui satu orang kepada orang yang lainnya sehingga suatu berita
di samapikan secara lisan dan akan mendapatkan feedback secara langsung
sehingga masyarakat desa terlihat lebih kompak dan harmonis. Perkembangan
tekonologi komunikasi dan informasi dewasa ini telah berkembang dengan sangat
cepat. Tentu saja ini memberikan efek atau pengaruh yang ditimbulkan baik
positif atau negatif. Mayoritas masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan
memerlukan upaya-upaya dan program-program untuk meningkatkan kualitas
pembangunan agar tidak semakin tertinggal dengan masyarakat perkotaan (Sairin, 2002).
Untuk mengejar
ketertinggalan dan melaksanakan pembangunan termasuk masalah otonomi daerah yang
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tidak bisa bergantung pada
satu program dari pusat (top-down) dan juga satu media, apalagi media
massa yang rendah daya terimanya di masyarakat pedesaan. Tapi, diperlukan
keterlibatan nyata berupa partisipasi masyarakat dalam menunjang program
pemerintah tersebut. Dan salah satu media yang dapat dijadikan sarana untuk
melibatkan masyarakat adalah menggunakan media rakyat, yang terbukti efektif
dan tidak pernah berubah dalam kehidupan masyarakat tradisional. Dengan ini
diharapkan semua pihak baik pemerintah dan masyarakat bisa menggunakan media rakyat
dengan tepat dan efektif
(Sairin, 2002).
3.3
Perubahan Sosial Desa
Disini yang dimaksud dengan aspek-aspek perubahan yaitu
menyangkut tentang perubahan khusus dalam masyarakat desa yang diperkirakan
penting untuk memahami kehidupan masyarakat desa. Hal ini dapat memperdalam
pemahaman tentang dinamika kehidupan desa (Soekanto, 2010).
1.
Perubahan Kultural
Perubahan
kultural (kebudayaan) adalah perubahan kebudayaan masyarakat desa dari pola
tradisional menjadi bersifat modern. Dalam hal ini yang dimaksud adalah
kebudayaan desa yang awalnya bersifat tradisional mulai dari alat yang
digunakan, ideologi, pendidikan, sedikit demi sedikit menjadi berkembang ke arah
yang lebih modern Yang menjadi titik tolak utama pengertian pola kebudayaan
tradisional adalah yang dikemukakan oleh Paul H. Landis an Everett M. Rogers.
Landis keberadaan pola kebudayaan tradisional tentukan oleh tiga faktor. Ketiga
faktor itu adalah sejauh mana ketergantungan masyarakat terhadap alam, bagaimana
tingkat teknologi nya dan bagaimana
sistem. produksinya.
Pola kebudayaan tradisional akan tetap eksis apabila
masyarakat desa memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap alam, namun
dengan tingkat teknologi yang tinggi, dan produksi yang hanya ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga. Ini berarti bahwa apabila ketergantungan terhadap
alam berkurang atau bahkan hilang, tingkat teknologinya tinggi, dan produksi
ditujukan untuk mengejar keuntungan (profit
orientecl), maka kebudayaan tradisional menjadi kehilangan dasar
eksistensinya Dan hal tersebut menunjukkan perubahan kultural pada masyarakat desa yang sudah terlihat.
Selain hal tersebut meningkatnya teknologi pada masyarakat desa juga
menunjukkan semakin berubahnya kebudayaan di desa, yang awalnya menggunakan alat pertanian yang sederhana, sekarang mulai
maju dengan menggunakan teknologi-teknologi modern.
Hal tersebut tidak buruk karena dapat semakin
memajukan desa kearah modern. Akan tetapi masih ada kendala dalam memajukan
desa kea rah modern. Hal ini disebabkan karena cara hidup modern menuntut biaya
tinggi. Sebaliknya, cara hidup tradisional adalah merupakan cara hidup yang
relatif murah. Oleh karena itu, sekalipun misalnya penduduk telah mendapatkan
dan menyerap pengetahuan baru dan budaya modern, namun pengaruhnya hanya
sebatas sikap dan pandangan hidup saja. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk
menerapkan gagasan hidup modern karena masalah struktural, yakni karena mereka
termasuk golongan miskin yang rendah tingkat keberdayaannya.
2.
Perubahan Struktural.
Struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari
sesuatu berhubungan satu dengan lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan.
Struktur adalah sifat
fundamental bagi setiap sistem. Identifikasi suatu struktur adalah suatu
tugas subjektif, karena tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan
bagian-bagiannya dan hubungan mereka. Karenanya, identifikasi kognitif suatu struktur berorientasi tujuan dan tergantung pada pengetahuan yang ada.
Banyak faktor yang tidak dapat dipungkiri yang
menyebabkan terjadinya perubahan sosial di masyarakat, misalnya datangnya
perpindahan penduduk dengan berbagai ciri kebudayaan yang dibawanya, pola
pendidikan, sistem ekonomi, politik pemerintahan dan banyak hal yang tak
mungkin dipisahkan dari faktor-faktor individual, seperti data yang diambil
dilapangan tercatat bahwa penduduk Desa
Pattontongan asli punya pola kehidupan yang masih sederhana namun setelah
datangnya penduduk yang bermigrasi ke Desa
Pattontongan membawa ciri kebudayaan, pola pendidikan, sistem ekonomi, politik
pemerintahan dan banyak hal yang tak mungkin dipisahkan dari faktor-faktor
individual yang berpengaruh dengan secara tanpa disadari mampu mempengaruhi
individu lainnya.
Faktor yang penting dalam kaitannya dengan pembicaraan
ini adalah teknologi, yang sangat nyata berkaitan dengan perubahan sosial di masyarakat seperti
yang ramai terpakai sekarang adalah pupuk organik. Hal ini terjadi karena pada
pasca nasional ini, selalu dijadikan sasaran utama pembangunan. Seperti yang
teramati dilapangan adalah sangat marak dipakai oleh masyarakat setempat ini
menjadi salah satu akibat terjadinya pergeseran nilai-nilai sosial budaya dari
masyarakat tersebut.
Pada masa sekarang ini kita dapat amati bahwa pembangunan
indonesia sudah mencapai 60% sukses namun pembangunan untuk sumberdaya
manusianya belum mencapai kesempurnaan ini dikarenakan teknologi tadi.
Masyarakat desa menerima dan menggunakan hasil penemuan atau peniruan teknologi
khususnya di bidang pertanian, yang merupakan orientasi utama pembangunan di
Indonesia.
Menurut data yang dikumpulkan dilapangan tercatat
sebanyak 70% masyarakat Desa
Pattontongan yang berprofesi sebagai petani dan itu karena pengaruh teknologi
terhadap bidang pertanian sehingga masyarakat harus beralih dari mata
pencaharian yang mulanya sebagai tukang batu sewaktu masih di daerah mereka,
namun akhirnya karena teknologi dan akibat dari perpindahan penduduk tadi maka
mereka harus rela beralih dari mata pencaharian yang semula ke mata pencaharian
yang baru yang sekarang mereka tekuni. Penerimaan terhadap teknologi baik itu
dipaksakan ataupun inisiatif agen-agen perubah, tidak terelakkan lagi akan
mempengaruhi perilaku sosial (social behavior) dalam skala atau derajat
yang besar. Lebih dari itu, introduksi teknologi yang tidak tepat mempunyai
implikasi terhadap perubahan sosial, yang kemudian akan diikuti dan diketahui
akibatnya. Contohnya, ketika teknologi berupa pupuk pestisida yang dulunya
tidak pernah ada dan masyarakat hanya mengandalkan temuan-temuan mitos untuk
menanggulangi hama yang menyerang tanaman mereka namun kini terlihat bahwa
setelah penemuan teknologi dan menghasilkan produk baru maka sangat berdampak
terhadap perubahan yang terjadi pada masyarakat tersebut.
Keadaan ini
menimbulkan perubahan struktur, kultur dan interaksional di Desa Pattontongan.
Perubahan dalam suatu aspek akan merembet ke aspek lain. Struktur keluarga
berubah, di mana wanita yang hanya biasa sebagai menumbuk padi sebagai
penghasilan tambahan, sekarang hanya tinggal di rumah. Produk baru akibat
temuan dari teknologi tadi maka menyebabkan mitos-mitos yang ada di masyarakat
tadi akan secara perlahan-lahan akan hilang.
3.4
Dampak Perubahan Sosial
Perjalanan proses pembangunan tidak selamanya mampu
memberikan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat di pedesaan.
Pembangunan yang dilakukan di masyarakat desa akan menimbulkan dampak sosial dan budaya
bagi masyarakat
seperti yang terjadi pada Desa Pattontongan, kecamatan Mandai, kabupaten Maros. Pendapat ini
pada berlandaskan pada asumsi pembangunan itu adalah proses perubahan (sosial
dan budaya). Selain itu, masyarakat
pedesaan tidak dapat dilepaskan dari unsur pokok pembangunan itu sendiri,
seperti teknologi dan birokrasi.
Teknologi dan birokrasi merupakan perangkat canggih
pembangunan namun dilain sisi perangkat tersebut berhadapan dengan masyarakat
pedesaan yang masih tradisional dengan segala kekhasannya. Apalagi jika
unsur-unsur pokok tersebut langsung diterapkan tanpa mempertimbangkan aspek
sosial, budaya, agama dan lain-lain, maka jangan harap pembangunan akan
berhasil. Pihak birokrasi akan sangat memerlukan usaha yang sangat ekstra jika
pola kebijakan yang dikeluarkan tidak tepat sasaran dan tidak berlandaskan pada
kebutuhan masyarakat khususnya di pedesaan
(Susanto, 1983).
Indonesia merupakan negara yang kaya
dengan sumber daya alamnya
dan sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan agrarian. Tak salah jika kemudian
kurang lebih 60% penduduknya
berkecimpung di dunia pertanian dan umumnya berada di pedesaan. Dengan
demikian, masyarakat desa yang agraris menjadi sasaran utama introduksi
tekhnologi segala kepentingan, kemajuan pertanian sangat melibatkan unsur-unsur
pokok tersebut. Oleh
sebab itu, masyarakat agrarislah yang pertama menderita perubahan sosial (Susanto, 1983).
Namun tetap perlu diperhatikan bahwa setiap masyarakat
mempunyai “ego”nya dalam segala bidang termasuk aspek teknologi dan kebijakan
birokrasi. Perubahan yang diharapkan dengan mengintroduksi tekhnologi
seharusnya sesuai dengan apa yang menjadi ego masyarakat tersebut, sehingga
pola perubahan dapat diterima oleh masyarakat. Karena setiap kebijakan dan
introduksi tekhnologi yang diberikan pada masyarakat agraris di pedesaan akan
memberikan dampak perubahan sosial yang multi dimensional (Sairin, 2002).
Pelaksanaan kebijakan teknologi pertanian mempunyai
jalinan yang sangat kuat dengan aspek-aspek lainnya. Jika kita perincikan
dimensi-dimensi perubahan tersebut, maka akan terlihat sangat nyata terjadi
perubahan dalam struktur, kultur dan interaksional. Perubahan sosial dalam tiga
dimensi ini, kalau dibiarkan terus akan merusak tatanan sosial masyarakat desa.
Maka dari itu sangat dibutuhkan kajian yang sangat mendalam untuk mencegah
dampak negatif dari kebijakan birokrasi dan asupan teknologi yang mengiringinya
terhadap masyarakat dan aparat yang menjalaninya (Sairin, 2002).
Terdapat
beberapa tanggapan masyarakat sebagai dampak perubahan sosial yang menimbulkan suatu ketidakpuasan, penyimpangan
masyarakat, ketinggalan, atau ketidaktahuan adanya perubahan, yaitu sebagai
berikut.
1.
Perubahan
yang diterima masyarakat kadang-kadang tidak sesuai dengan keinginan. Hal ini karena setiap orang memiliki gagasan mengenai
perubahan yang mereka anggap baik sehingga perubahan yang terjadi dapat
ditafsirkan bermacam-macam, sesuai dengan nilai-nilai sosial yang mereka
miliki.
2.
Perubahan
mengancam kepentingan pihak yang sudah mapan. Hak istimewa yang diterima dari masyarakat akan
berkurang atau menghilang sehingga perubahan dianggapnya akan mengancangkan
berbagai aspek kehidupan. Untuk mencegahnya, setiap perubahan harus dihindari
dan ditentang karena tidak sesuai kepentingan kelompok masyarakat tertentu.
3.
Perubahan
dianggap sebagai suatu kemajuan sehingga setiap perubahan harus diikuti tanpa
dilihat untung ruginya bagi kehidupan. Pembahan juga dianggap membawa nilai-nilai baru yang
modern.
4.
Ketidaktahuan
pada perubahan yang terjadi. Hal
ini mengakibatkan seseorang ketinggalan informasi tentang perkembangan dunia.
5.
Masa
bodoh terhadap perubahan. Hal
itu disebabkan perubahan sosial yang terjadi dianggap tidak akan menimbulkan
pengaruh bagi dirinya.
6.
Ketidaksiapan
menghadapi perubahan.
Pengetahuan dan kemampuan seseorang terbatas, dampak perubahan sosial
yang terjadi ia tidak memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi.
IV.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan di
atas adalah sebagai berikut:
·
pembangunan
tidak selamanya mampu memberikan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
masyarakat di pedesaan.
·
Banyak
faktor yang tidak dapat dipungkiri yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial
di masyarakat, misalnya datangnya perpindahan penduduk dengan berbagai ciri
kebudayaan
·
4.2
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anonim1. 2012.
Teknologi Pertanian. http://id.wikipedia.org/wiki/dalam www.google.com. Diakses pada tanggal 25 November 2012 pukul 19.30 WITA, Makassar
Anonim2.
2012. http://mster-al.blogspot.com/2012/10/makalah-
desa_4.html.
diakses pada tanggal 25 November 2012 pukul 20.00 wita, Makassar.
Anonim3. 2012. http://www.kemsos.go.id/unduh/Komunikasi_Berketahanan_ Sosial.pdf. Diakses pada tanggal 25 November 2012 pukul 20.00 WITA, Makassar
Anonim4. 2012. http://news.detik.com/read/2011/09/12/081621/1719955/471
/perubahan-sosial-pedesaan. Diakses pada tanggal
25 November 2012 pukul 20.17 WITA, Makassar
Anonim5. 2012. http://ekopolnawar.blogspot.com/2010/02/perubahan-sosial-desa.html.
Diakses pada tanggal 25 November 2012 pukul 21.00 WITA, Makassar
Aris Tanudirjo, Daud. 1993. Sejarah Perkembangan Budaya
di Dunia dan di Indonesia. Yogyakarta:Widya Utama
Gumgum
Gumilar, 2001. Teori Perubahan Sosial. Unikom. Jakarta. Kanisisus
Purnomo, Mangku, 2004, Pembaharuan Desa,
Pustaka Yogya Mandiri, Yogyakarta
Sairin, Sjafri, 2002, Perubahan Sosial
Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Sholihah, Nikmatus, 2006. Gender dan
Jenis Kelamin. Yogyakarta:Widya Utama
Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.
Susanto, S, Astrid, 1983, Pengantar Sosiologi
Dan Perubahan Sosial, Binacipta
Tarigan, Robinson, 2005, Perencanaan Pembangunan
Wilayah, Bumi Aksara, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar