BAB
I
PENDAHULUAN
A. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan Makalah ini
adalah:
1.
Untuk mempelajari tentang
2.
Untuk memberikan pengetahuan kepada
para pembaca tentang kehidupan masyarakat pesisir.
3.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah umum
Wawasan Sosial Budaya Maritim (WSBM).
B.
Sistematika Penulisan
Makalah ini
disusun dengan sistematika pembahasan yang meliputi:
BAB I : PENDAHULUAN
Menyajikan latar belakang masalah,
tujuan penulisan, rumusan masalah dan sistematika penulisan;
BAB II : PEMBAHASAN
Konstruksi masyarakat yang kehidupan
sosial budayanya dipengaruhi secara signifikan oleh eksistensi
kelompok-kelompok sosial yang kelangsungan hidupnya bergantung pada usaha
pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir, meliputi : Sistem gender, Relasi
patron-klien, Pola-pola eksploitasi sumber daya, dan kepemimpinan sosial.
BAB II : PENUTUP
menyajikan kesimpulan dan saran.
BAB
II
PEMBAHASAN
Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan
atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi
pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai
berbagai peristiwa yang terjadi di
lingkungannya (Keesing, 1989:68-69). Setiap gagasan dan praktik kebudayaan
harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan
itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu
kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap
lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat,
isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan
untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial (Kluckhon, 1984:85,
91).
Berdasarkan hasil
riset, Fachrudin dkk. (1976) mengelompokkan, desa-desa pesisir ke dalam empat
jenis, yaitu:
1) desa
pesisir tipe bahan makanan, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh
penduduknya bermatapencaharian sebagai petani sawah;
2) desa
pesisir tipe tanaman industri, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh
penduduknya bermatapencaharian sebagai petani tanaman industri;
3) desa
pesisir tipe nelayan/empang, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh
penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, dan pembudidaya
perairan; dan
4)
desa pesisir tipe niaga
dan transportasi, yaitu desa-desa yang sebagian
besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai pedagang
antarpulau dan penyedia jasa transportasi antarwilayah (laut) (Hasanuddin,
1985: 108).
Perspektif
antropologis untuk memahami eksistensi
suatu masyarakat bertitik tolak dan berorientasi pada hasil hubungan dialektika
antara manusia, lingkungan, dan kebudayaannya. Karena itu, dalam beragam
lingkungan yang melingkupi kehidupan manusia, satuan sosial yang terbentuk
melalui proses demikian akan menmpilkan karakteristik budaya yang berbeda-beda.
Dengan demikian, sebagai upaya memahami masyarakat nelayan, berikut ini akan
dideskripsikan beberapa aspek antropologis yang dipandang penting sebagai pembangun identitas kebudayaan masyarakat
nelayan, seperti sistem gender, relasi patron-klien, pola-pola eksploitasi
sumber daya perikanan, dan kepemimpinan sosial.
A.
Sistem
Gender
Sistem gender adalah
sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labor by sex) dalam
masyarakat nelayan yang didasarkan pada persepsi kebudayaan yang ada. Dengan
kata lain, sistem gender merupakan
kontruksi sosial dari masyarakat nelayan yang terbentuk sebagai hasil
evolutif dari suatu proses dialektika
antara manusia, lingkungan, dan kebudayaannya. Sebagai produk budaya, sistem
gender diwariskan secara sosial dari generasi ke generasi. Berdasarkan sistem
gender masyarakat nelayan,
pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan ”laut” merupakan ”ranah kaum laki-laki”, sedangkan wilayah
”darat” adalah ranah kerja ”kaum
perempuan”.
Pekerjaan-pekerjaan
di laut, seperti melakukan kegiatan
penangkapan, menjadi ranah laki-laki karena karakteristik pekerjaan ini
membutuhkan kemampuan fisik yang kuat, kecepatan bertindak, dan berisiko tinggi. Dengan kemampuan fisik
yang berbeda, kaum perempuan menangani pekerjaan-pekerjaan di darat, seperti
mengurus tanggung jawab domestik, serta
aktivitas sosial-budaya dan ekonomi. Kaum perempuan memiliki cukup
banyak waktu untuk menyelesaikan tangung jawab pekerjaan tersebut. Sebagian
besar aktivitas perekonomian di kawasan
pesisir melibatkan kaum perempuan dan sistem pembagian kerja tersebut telah
menempatkan kaum perempuan sebagai “penguasa aktivitas ekonomi pesisir”.
Dampak dari sistem
pembagian kerja ini adalah kaum perempuan mendominasi dalam urusan ekonomi
rumah tangga dan pengambilan keputusan penting di rumah tangganya (Kusnadi, 2001). Dengan demikian, kaum
perempuan tidak berposisi sebagai ”suplemen” tetapi bersifat ”komplemen” dalam
menjaga kelangsungan hidup rumah tangganya. Persepsi masyarakat nelayan
terhadap perempuan yang bekerja di
sektor publik terbagi menjadi tiga, yaitu:
persepsi konservatif, moderat bersyarat, dan kontekstual dinamis
(Kusnadi, Hari Sulistiyowati, Adi Prasodjo, dan Sumarjono, 2006:67-76). Jika persepsi
”konservatif” dan pandangan ”moderat
bersyarat” dianut oleh sebagian kecil masyarakat nelayan, sebaliknya
pandangan ”kontekstual-dinamis” dianut oleh sebagian besar warga masyarakat
nelayan. Persepsi
kontekstual-dinamis lebih rasional
dalam menilai perempuan pesisir yang bekerja sesuai dengan kebutuhan dan kondisi-kondisi
sosial ekonomi lokal. Persepsi ini memberikan ruang yang luas bagi perempuan
untuk terlibat aktif dalam kegiatan publik dengan tidak mengorbankan tanggung
jawab domestiknya.
Dalam
rumah tangga nelayan miskin, kaum perempuan, isteri nelayan, mengambil peranan
yang strategis untuk menjaga integrasi rumah tangganya. Modernisasi perikanan
yang berdampak serius terhadap proses
pemiskinan telah menempatkan kaum
perempuan sebagai penanggung jawab utama kelangsungan hidup rumah tangga
nelayan (Kusnadi, 2003:69-83). Jika pemerintah menggagas program-program
pemberdayaan untuk mengatasi kemiskinan nelayan, kaum perempuan dapat
ditempatkan sebagai subjek pemberdayaan sosial-ekonomi. Dengan demikian, upaya
untuk mencapai tujuan pemberdayaan dapat ditempuh secara tepat dan efisien.
B.
Relasi
Patron-Klien
Pada umumnya, relasi patron-klien terjadi secara intensif
pada suatu masyarakat yang menghadapi persoalan sosial dan kelangkaan sumber daya ekonomi yang
kompleks. Di daerah pedesaan dan pinggiran kota yang berbasis pertanian,
seorang patron (bapak buah) akan membantu klien (anak buah) kemudahan akses pada peluang kerja di sekor
pertanian, mengatasi kebutuhan mendadak klien, atau meringankan beban utang
klien pada pelepas uang. Klien menerima kebaikan tersebut sebagai ”hutang
budi”, menghargai, dan berkomitmen untuk membantu patron dengan sumberdaya jasa
tenaga yang mereka miliki. Pola-pola relasi sosial yang demikian dapat dilihat
pada hubungan
antara pemilik lahan pertanian luas
(petani kaya) dengan para buruh taninya dan orangorang di sekitarnya yang
kemampuan ekonominya terbatas (Eisenstadt dan Roniger, 1984:122-127; lihat
juga, Jay, 1969).
Pada dasarnya,
hubungan patron-klien berkenaan dengan:
(a) hubungan di antara para pelaku atau perangkat para pelaku yang menguasai
sumber daya yang tidak sama; (b) hubungan yang bersifat khusus
(particularistic), hubungan pribadi dan sedikit banyak mengandung kemesraan
(affectivity); (c) hubungan yang berdasarkan asas saling menguntungkan dan
saling memberi dan menerima (Legg, 1983:10-29). Sumber daya yang dipertukarkan
dalam hubungan patron-klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dari
masing-masing pihak. Kategori-kategori pertukaran dari patron ke klien mencakup
pemberian: bantuan penghidupan subsistensi
dasar, jaminan krisis subsistensi, perlindungan dari ancaman luar
terhadap klien, dan memberikan sumbangan
untuk kepentingan umum. Sebaliknya, arus
barang dan jasa dari klien ke patron pada umumnya dengan menyediakan tenaga dan
keahliannya untuk kepentingan patron, apa pun bentuknya (Scott, 1993:8-10).
Prinsip-prinsip relasi
patron-klien berlaku juga pada masyarakat nelayan. Unsurunsur sosial yang
berpotensi sebagai patron adalah pedagang (ikan) berskala besar dan kaya,
nelayan pemilik (perahu) (orenga, Madura), juru mudi (juragan laut atau
pemimpin awak perahu), dan orang kaya lainnya. Mereka yang berpotensi menjadi
klien adalah nelayan buruh (pandhiga, Madura) dan warga pesisir yang kurang
mampu sumber dayanya. Secara intensif, relasi patron-klien ini terjadi di dalam
aktivitas pranata ekonomi dan kehidupan sosial di kampung. Para patron ini
memiliki status dan peranan sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat
nelayan (Kusnadi, 2000). Kompleksitas relasi sosial patron-klien (vertikal) dan
relasi sosial horisontal di antara mereka merupakan urat-urat struktur
sosial masyarakat nelayan.
Dalam aktivitas ekonomi
perikanan tangkap di kalangan nelayan Madura misalnya, terdapat tiga pihak yang
berperan besar, yaitu pedagang perantara (pangamba’), nelayan pemilik perahu,
dan nelayan buruh (Kusnadi, 2000). Ketiga pihak terikat oleh hubungan kerja
sama ekonomi yang erat. Pedagang perantara menyediakan bantuan dan pinjaman
(uang) ikatan untuk nelayan pemilik dan
nelayan buruh. Nelayan pemilik menyediakan bantuan dan pinjaman ikatan kepada
nelayan buruh. Hubungan kerja sama ekonomi di antara mereka diikat oleh relasi
patron-klien. Relasi sosial ekonomi bebasis patron-klien ini berlangsung
intensif dan dalam jangka panjang. Relasi sosial ekonomi akan berakhir jika terjadi persoalan yang tidak bisa
diatasi di antara mereka, sehingga pihak nelayan pemilik dan nelayan buruh
harus melunasi utangutangnya kepada pedagang perantara.
Sedemikian
dalamnya relasi patron-klien mendasari
aktivitas ekonomi nelayan, sehingga ada peneliti yang menyebut
organisasi ekonomi nelayan sebagai organisasi ”ekonomi patron-klien” (Elfindri.
2002). Selain di sektor ekonomi, relasi-relasi
patron-klien juga terjadi intensif di kampung-kampung nelayan yang
tingkat kemiskinannya tinggi. Sebagai contoh, dalam jaringan sosial berbasis
hubungan ketetanggaan, orang-orang yang mampu (pedagang, nelayan pemilik, atau
pihak lainnya) dan memiliki sumber daya ekonomi lebih dari cukup akan membantu
tetangganya yang kekurangan. Biasanya bantuan tersebut berupa barangbarang
natura, makanan, informasi, pakaian, dan upah jasa. Mereka yang telah ditolong
itu akan membalas kebaikan tersebut dengan kesiapan menyediakan jasa tenaganya
untuk membantu patron. Aktualisasi relasi patron-klien ini merupakan upaya
menjaga kerukunan bersama, sehingga efek negatif kesenjangan sosial di kalangan
masyarakat nelayan dapat diminimalisasi (Kusnadi, 2000). Realitas sosial demikian dan masih berfungsinya
pranata-pranata budaya itu menunjukkan
bahwa upaya sebagian akademisi memahami masalah sosial dalam masyarakat
nelayan dari perspektif kelas, bukan hanya tidak tepat, tetapi juga menyesatkan
secara akademis.
C.
Pola-pola
Eksploitasi Sumberdaya
Dalam konteks hubungan eksploitasi
sumber daya perikanan, masyarakat nelayan
kita
memerankan empat perilaku sebagai berikut:
1. mengeksploitasi
terus-menerus sumber daya perikanan tanpa
memahami batas-batasnya;
2. mengeksploitasi
sumber daya perikanan, disertai dengan merusak ekosistem pesisir dan laut,
seperti menebangi hutan bakau serta mengambil terumbu karang dan pasir laut;
3. mengeksploitasi
sumber daya perikanan dengan cara-cara yang
merusak (destructive fishing), seperti kelompok nelayan yang melakukan pemboman
ikan, melarutkan potasium sianida, dan
mengoperasikan jaring yang merusak lingkungan, seperti trawl atau minitrawl; serta
4.
mengeksploitasi sumber
daya perikanan dipadukan dengan tindakan
konservasi, seperti nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan disertai dengan kebijakan pelestarian terumbu
karang, hutan bakau, dan mengoperasikan jaring yang ramah lingkungan (Kusnadi,
2009:126-127).
Perilaku pertama,
kedua, dan ketiga dianut oleh sebagian besar nelayan kita sebagai konsekuensi dari persepsi yang kuat
terhadap sumber daya perikanan atau sumber daya kelautan yang bersifat open access bagi siapa pun yang mau
memanfaatkannya. Perilaku keempat adalah perilaku minoritas di kalangan masyarakat
nelayan, seperti ditunjukkan oleh adanya komunitas-komunitas adat atau
komunitas lokal yang mengelola sumber
daya perikanan untuk memperkuat kepentingan ekonomi kolektif, kemandirian sosial,
dan kelangsungan hidup.
Komunitas-komunitas
adat seperti ini tersebar di berbagai wilayah tanah air. Mereka menjaga dengan
baik pranata-pranata pengelolaan sumber daya laut yang dimilikinya, seperti
sasi di Maluku, ondoafi di Papua Barat, bati di Ternate, rompong di Sulawesi
Selatan, tonass di Sulawesi Utara, awig-awigdi Nusa Tenggara Barat, patenekan
di Banten, atau gogolan di Tegal. Klaim pemilikan atas sumber daya komunal ini
dilegitimasi oleh sejarah sosial dan unsur-unsur identitas etnisitas yang mereka
miliki (Kusnadi, 2009:127).
Perilaku eksploitatif
yang tak terkendali berimplikasi luas terhadap kelangkaan sumberdaya perikanan
dan kemiskinan nelayan. Di samping itu,
kompetisi antar nelayan dalam memperebutkan sumber daya perikanan terus
meningkat, sehingga berpotensi menimbulkan konflik secara eksplosif di berbagai
wilayah perairan, khususnya di kawasan yang menghadapi kondisi overfishing (tangkap
lebih).
Kondisi-kondisi umum
yang secara tidak langsung dapat
mempengaruhi timbulnya konflik
nelayan adalah sebagai berikut:
1. Kelangkaan
atau semakin berkurangnya sumber daya perikanan, khususnya di perairan pantai,
dan kondisi overfishing, yang disebabkan oleh beberapa hal penting,
yaitu: eksploitasi berlebihan dan kerusakan ekosistem pesisir-laut.
2. Kegiatan
eksploitasi sumber daya perikanan tidak disertai dengan kesadaran dan visi
kelestarian atau keberlanjutan dalam mengelola lingkungan pesisir-laut,
sehingga terjadi ketimpangan.
3. Kegagalan
pembangunan pedesaan di wilayah kabupaten/kota pesisir, sehingga meningkatkan
tekanan penduduk terhadap sumber daya
laut dan kompetisi semakin meningkat.
4. Belum
adanya perencanaan dan aplikasi kebijakan
pembangunan wilayah pesisir secara terpadu dengan melibatkan
stakeholders yang luas.
Selain itu, sebab-sebab khusus
timbulnya konflik nelayan di
antaranya adalah sebagai berikut:
1) Pelanggaran
jalur-jalur penangkapan, khususnya di perairan pantai (inshore).
2) Perebutan
wilayah tangkapan (fishing grounds).
3) Perebutan
lokasi rumpon dan pencurian ikan di lokasi rumpon.
4) Pengoperasian
alat tangkap yang tingkat kualitasnya
berbeda di antara dua kelompok nelayan (misalnya, nelayan pancingan dengan
nelayan payang), sehingga hasil tangkapan yang diperoleh timpang.
5) Pengoperasian
alat tangkap yang merusak kelestarian
sumber daya perikanan, seperti minitrawl dan sejenisnya.
6) Penangkapan
yang merusak lingkungan, seperti dengan bom ikan, potasium, dan
sebagainya.
Dalam
berbagai kasus konflik nelayan, sebab-sebab di atas sering saling tumpang tindih.
Upaya untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap sumber daya laut dan mengatasi
overfishing melalui diversifikasi pekerjaan atau konversi pekerjaan tidak mudah
dilakukan karena terbatasnya peluang kerja lainnya (off-fishing) di daerah
pesisir.
Ketergantungan
nelayan terhadap laut sangat tinggi. Sebagai contoh kasus, dari hasil studi
Purnomo (2005) terungkap bahwa sebagian besar (89,3%) dari nelayan-nelayan di
Sampang, Bangkalan, Pasuruan, Sidoarjo, dan Surabaya tetap mempertahankan
pekerjaannya menangkap ikan dan sebanyak 94,9% di antara mereka tetap mempertahankan
Perairan Selat Madura sebagai daerah operasi penangkapan. Padahal, Selat Madura
sudah dalam kondisi overfishing sejak tahun 1996. Data ini menunjukkan bahwa
peluang terjadinya konflik nelayan masih cukup besar. Oleh sebab itu,
upayaupaya meresolusi konflik nelayan harus terus dilakukan oleh berbagai
pihak, dengan pendekatan yang multi dimensional.
D.
Kepemimpinan
Sosial
Sebagai suatu kesatuan
sosial-budaya, masyarakat nelayan memiliki ciri-ciri perilaku sosial yang
dipengaruhi oleh karakteristik kondisi geografis dan matapencaharian
penduduknya. Sebagian dari ciri-ciri
perilaku sosial tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Etos kerja tinggi untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kemakmuran.
2. Kompetitif
dan mengandalkan kemampuan diri untuk mencapai keberhasilan.
3. Apresiasi
terhadap prestasi seseorang dan menghargai keahlian.
4. Terbuka
dan ekspresif, sehingga cenderung “kasar”.
5. Solidaritas
sosial yang kuat dalam menghadapi
ancaman bersama atau membantu sesama ketika menghadapi musibah.
6. Kemampuan
adaptasi dan bertahan hidup yang tinggi.
7. Bergaya
hidup “konsumtif “.
8. Demonstratif
dalam harta-benda (emas, perabotan rumah, kendaraan, bangunan rumah, dan
sebagainya) sebagai manifestasi “keberhasilan hidup”.
9. ”Agamis”,
dengan sentimen keagamaan yang tinggi.
10.
”Temperamental”,
khususnya jika terkait dengan ”harga diri”.
Salah satu ciri
perilaku sosial dari masyarakat pesisir yang terkait dengan sikap temperamental
dan harga diri tersebut dapat disimak dalam pernyataan antropolog Belanda di bawah
ini (Boelaars, 1984:62): Orang pesisir
memiliki orientasi yang kuat untuk merebut dan meningkatkan kewibawaan
atau status sosial. Mereka sendiri mengakui bahwa mereka cepat marah, mudah
tersinggung, lekas menggunakan kekerasan, dan gampang cenderung balas-membalas sampai
dengan pembunuhan. Orang pesisir memiliki rasa harga diri yang amat tinggi dan
sangat peka. Perasaan itu bersumber pada kesadaran mereka bahwa pola hidup
pesisir memang pantas mendapat
penghargaan yang tinggi.
Ciri-ciri perilaku
sosial di atas memiliki relevansi dengan ciri-ciri kepemimpinan sosial
masyarakat pesisir. Berdasarkan kajian filologis atas naskah-naskah klasik
(kuno) yang banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, seperti Kitab Sindujoyo
Pesisiran dan Babad Gresik Pesisiran, syarat-syarat pemimpin di kalangan
masyarakat pesisir adalah sebagai
berikut (Widayati, 2001:3):
1. Siap menolong siapa saja yang
meminta bantuan.
2. Mementingkan orang lain daripada
dirinya sendiri.
3. Dermawan kepada semua orang.
4. Selalu menuntut ilmu dunia dan
akhirat untuk keseimbangan
kehidupan.
5. Tidak berambisi terhadap jabatan
atau kedudukan walaupun banyak berjasa.
6. Rendah hati (tidak sombong),
tetapi tidak rendah diri (minder).
7. Sangat benci penindasan dan
berbuat adil kepada siapa saja.
8. Rajin bekerja dan beribadah,
khususnya shalat lima waktu.
9. Sabar dan bijaksana.
10. Berusaha membahagiakan orang lain.
Sebagian nilai-nilai
perilaku sosial di atas merupakan modal
sosial yang sangat berharga jika didayagunakan untuk membangun masyarakat nelayan atau masyarakat
pesisir. Demikian juga, syarat-syarat pemimpin dan kepemimpinan masyarakat pesisir memiliki relevansi yang
baik untuk merekonstruksi kepemimpinan bangsa dan negara Indonesia.
Penjelajahan terhadap nilai-nilai budaya kepesisiran ini tentu saja memiliki
kontribusi yang sangat strategis untuk membangun masa depan bangsa yang
berbasis pada potensi sumber daya kemaritiman nasional.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang spesifik
dan terbangun melalui proses evalusi yang panjang. Ciri-ciri kebudayaan di
atas, seperti sistem gender, relasi patron-klien, pola-pola perilaku dalam mengeksploitasi
sumber daya perikanan, serta kepemimpinan sosial tumbuh karena pengaruh
kondisikondisi dan karakteristik-karakteristik yang terdapat di lingkungannya.
Sebagai bagian dari suatu masyarakat yang luas, yang sedang bergerak mengikuti
arus dinamika sosial, masyarakat nelayan dan kebudayaan pesisir juga akan terkena dampaknya. Kemampuan
beradaptasi dan keberhasilan menyikapi tantangan perubahan sosial sangat
menentukan kelangsungan hidup dan integrasi sosial masyarakat nelayan.
2. Saran
Dengan ditulisnya
makalah yang menjelaskan tentang konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial
budayanya dipengaruhi secara signifikan oleh eksistensi kelompok-kelompok
sosial yang kelangsungan hidupnya bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya
kelautan dan pesisir Sebagai Anggota Masyarakat ini, semoga kita semua bisa
benar-benar memahami tentang apa yang seharusnya kita dapatkan sebagai warga
negara khususnya yang tinggal didaerah pesisir. Sehingga, kita mampu membangun negeri
yang maju dan penuh dengan keadilan, kemakmuran, aman dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Boelaars, Yan 1984.
Kepribadian Indonesia Modern:
Suatu Penelitian Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.
Eisenstadt, S.N. dan L. Roniger. 1984. Patrons, Clients, and Friends: Interpersonal Relations and the
Structure of Trust in Society. Cambridge: Cambridge University Press.
Elfindri. 2002. Ekonomi Patron-Client: Fenomena Mikro Rumah
Tangga Nelayan dan Kebijakan Makro. Padang: Andalas University Press.
Ginkel, Rob van. 2007. Coastal Cultures: An Anthropology of Fishing
and Whaling Traditions. Apeldoorn: Het Spinhuis Publishers.
Hasanudin, Basri.1985. ”Beberapa Hal Mengenai Struktur
Ekonomi Masyarakat Pantai”, dalam A.S. Achmad dan S.S. Acip (Peny.). Komunikasi dan Pembangunan. Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan, hal. 105-110.
Jay, Robert R. 1969.
Javanese Villagers: Social Relation in Rural Modjokuto.
Cambridge: The MIT Press.
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya: Suatu
Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga.
Kluckhon, Clyde 1984. “Cermin bagi Manusia”, dalam
Parsudi Suparlan (Ed.). Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya.
Jakarta: Rajawali Pers, hal. 69-109.
______. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi
Pesisir. Yogyakarta: ArRuzz Media.
Kusnadi, Hari Sulistiyowati, Adi Prasodjo, dan
Sumarjono. 2006. Perempuan Pesisir. Yogyakarta:
LKiS.
Purnomo, Gatot Sugeng. 2005. Strategi Bertahan Hidup: Respons Nelayan
terhadap Perubahan Kondisi Daerah Penangkapan Ikan di Selat Madura.
Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
Scott, James C.
1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Widayati, Sri Wahyu 2001. “Prototipe Kepemimpinan
Masyarakat Jawa dalam Karya Sastra Jawa Pesisiran”, Makalah Kongres
Bahasa Jawa III, di Yogyakarta, 15 Juli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar