Selasa, 01 Januari 2013

Wawasan Sosial Budaya Maritim

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan Makalah ini adalah:
1.    Untuk mempelajari tentang
2.    Untuk memberikan pengetahuan kepada para pembaca tentang kehidupan masyarakat pesisir.
3.    Untuk memenuhi tugas mata kuliah umum Wawasan Sosial Budaya Maritim (WSBM).

B.     Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan sistematika pembahasan yang meliputi:
BAB I : PENDAHULUAN
Menyajikan latar belakang masalah, tujuan penulisan, rumusan masalah dan sistematika penulisan;
BAB II : PEMBAHASAN
Konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial budayanya dipengaruhi secara signifikan oleh eksistensi kelompok-kelompok sosial yang kelangsungan hidupnya bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir, meliputi : Sistem gender, Relasi patron-klien, Pola-pola eksploitasi sumber daya, dan kepemimpinan sosial.
BAB II : PENUTUP
menyajikan kesimpulan dan saran.





BAB II
PEMBAHASAN

Bagi masyarakat  nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa  yang terjadi di lingkungannya (Keesing, 1989:68-69). Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial (Kluckhon, 1984:85, 91).
Berdasarkan hasil riset, Fachrudin dkk. (1976) mengelompokkan, desa-desa pesisir ke dalam empat jenis, yaitu:
1)      desa pesisir tipe bahan makanan, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani sawah;
2)      desa pesisir tipe tanaman industri, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani tanaman industri;
3)      desa pesisir tipe nelayan/empang, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, dan pembudidaya perairan; dan
4)      desa pesisir tipe niaga dan transportasi, yaitu desa-desa yang sebagian  besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai pedagang antarpulau dan penyedia jasa transportasi antarwilayah (laut) (Hasanuddin, 1985: 108).
Perspektif antropologis untuk memahami  eksistensi suatu masyarakat bertitik tolak dan berorientasi pada hasil hubungan dialektika antara manusia, lingkungan, dan kebudayaannya. Karena itu, dalam beragam lingkungan yang melingkupi kehidupan manusia, satuan sosial yang terbentuk melalui proses demikian akan menmpilkan karakteristik budaya yang berbeda-beda. Dengan demikian, sebagai upaya memahami masyarakat nelayan, berikut ini akan dideskripsikan beberapa aspek antropologis yang dipandang penting sebagai  pembangun identitas kebudayaan masyarakat nelayan, seperti sistem gender, relasi patron-klien, pola-pola eksploitasi sumber daya perikanan, dan kepemimpinan sosial.
A.      Sistem Gender
Sistem gender adalah sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labor by sex) dalam masyarakat nelayan yang didasarkan pada persepsi kebudayaan yang ada. Dengan kata lain, sistem gender merupakan  kontruksi sosial dari masyarakat nelayan yang terbentuk sebagai hasil evolutif dari suatu proses  dialektika antara manusia, lingkungan, dan kebudayaannya. Sebagai produk budaya, sistem gender diwariskan secara sosial dari generasi ke generasi. Berdasarkan sistem gender masyarakat  nelayan, pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan ”laut” merupakan  ”ranah kaum laki-laki”, sedangkan wilayah ”darat”  adalah ranah kerja ”kaum perempuan”.
Pekerjaan-pekerjaan di  laut, seperti melakukan kegiatan penangkapan, menjadi ranah laki-laki karena karakteristik pekerjaan ini membutuhkan kemampuan fisik yang kuat, kecepatan bertindak,  dan berisiko tinggi. Dengan kemampuan fisik yang berbeda, kaum perempuan menangani pekerjaan-pekerjaan di darat, seperti mengurus tanggung jawab domestik, serta  aktivitas sosial-budaya dan ekonomi. Kaum perempuan memiliki cukup banyak waktu untuk menyelesaikan tangung jawab pekerjaan tersebut. Sebagian besar aktivitas  perekonomian di kawasan pesisir melibatkan kaum perempuan dan sistem pembagian kerja tersebut telah menempatkan kaum perempuan sebagai “penguasa aktivitas ekonomi pesisir”.
Dampak dari sistem pembagian kerja ini adalah kaum perempuan mendominasi dalam urusan ekonomi rumah tangga dan pengambilan keputusan penting di rumah tangganya  (Kusnadi, 2001). Dengan demikian, kaum perempuan tidak berposisi sebagai ”suplemen” tetapi bersifat ”komplemen” dalam menjaga kelangsungan hidup rumah tangganya. Persepsi masyarakat nelayan terhadap  perempuan yang bekerja di sektor publik terbagi menjadi tiga, yaitu:  persepsi konservatif, moderat bersyarat, dan kontekstual dinamis (Kusnadi, Hari Sulistiyowati, Adi Prasodjo, dan Sumarjono, 2006:67-76). Jika persepsi ”konservatif” dan pandangan ”moderat  bersyarat” dianut oleh sebagian kecil masyarakat nelayan, sebaliknya pandangan ”kontekstual-dinamis” dianut oleh sebagian besar warga masyarakat nelayan. Persepsi  kontekstual-dinamis  lebih rasional dalam menilai perempuan pesisir yang bekerja sesuai dengan kebutuhan dan kondisi-kondisi sosial ekonomi lokal. Persepsi ini memberikan ruang yang luas bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam kegiatan publik dengan tidak mengorbankan tanggung jawab domestiknya.
Dalam rumah tangga nelayan miskin, kaum perempuan, isteri nelayan, mengambil peranan yang strategis untuk menjaga integrasi rumah tangganya. Modernisasi perikanan yang berdampak serius terhadap proses  pemiskinan  telah menempatkan kaum perempuan sebagai penanggung jawab utama kelangsungan hidup rumah tangga nelayan (Kusnadi, 2003:69-83). Jika pemerintah menggagas program-program pemberdayaan untuk mengatasi kemiskinan nelayan, kaum perempuan dapat ditempatkan sebagai subjek pemberdayaan sosial-ekonomi. Dengan demikian, upaya untuk mencapai tujuan pemberdayaan dapat ditempuh secara tepat dan efisien.
B.       Relasi Patron-Klien
Pada umumnya,  relasi patron-klien terjadi secara intensif pada suatu masyarakat yang menghadapi persoalan sosial  dan kelangkaan sumber daya ekonomi yang kompleks. Di daerah pedesaan dan pinggiran kota yang berbasis pertanian, seorang patron (bapak buah) akan membantu klien (anak buah)  kemudahan akses pada peluang kerja di sekor pertanian, mengatasi kebutuhan mendadak klien, atau meringankan beban utang klien pada pelepas uang. Klien menerima kebaikan tersebut sebagai ”hutang budi”, menghargai, dan berkomitmen untuk membantu patron dengan sumberdaya jasa tenaga yang mereka miliki. Pola-pola relasi sosial yang demikian dapat dilihat pada hubungan
antara pemilik lahan pertanian luas (petani kaya) dengan para buruh taninya dan orangorang di sekitarnya yang kemampuan ekonominya terbatas (Eisenstadt dan Roniger, 1984:122-127; lihat juga,  Jay, 1969).
Pada dasarnya, hubungan  patron-klien berkenaan dengan: (a) hubungan di antara para pelaku atau perangkat para pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama; (b) hubungan yang bersifat khusus (particularistic), hubungan pribadi dan sedikit banyak mengandung kemesraan (affectivity); (c) hubungan yang berdasarkan asas saling menguntungkan dan saling memberi dan menerima (Legg, 1983:10-29). Sumber daya yang dipertukarkan dalam hubungan patron-klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dari masing-masing pihak. Kategori-kategori pertukaran dari patron ke klien mencakup pemberian: bantuan penghidupan subsistensi  dasar, jaminan krisis subsistensi, perlindungan dari ancaman luar terhadap  klien, dan memberikan sumbangan untuk kepentingan umum. Sebaliknya,  arus barang dan jasa dari klien ke patron pada umumnya dengan menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron, apa pun bentuknya (Scott, 1993:8-10).
Prinsip-prinsip relasi patron-klien berlaku juga pada masyarakat nelayan. Unsurunsur sosial yang berpotensi sebagai patron adalah pedagang (ikan) berskala besar dan kaya, nelayan pemilik (perahu) (orenga, Madura), juru mudi (juragan laut atau pemimpin awak perahu), dan orang kaya lainnya. Mereka yang berpotensi menjadi klien adalah nelayan buruh (pandhiga, Madura) dan warga pesisir yang kurang mampu sumber dayanya. Secara intensif, relasi patron-klien ini terjadi di dalam aktivitas pranata ekonomi dan kehidupan sosial di kampung. Para patron ini memiliki status dan peranan sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat nelayan (Kusnadi, 2000). Kompleksitas relasi sosial patron-klien (vertikal) dan relasi sosial horisontal di antara mereka merupakan urat-urat struktur sosial  masyarakat nelayan.
Dalam aktivitas ekonomi perikanan tangkap di kalangan nelayan Madura misalnya, terdapat tiga pihak yang berperan besar, yaitu pedagang perantara (pangamba’), nelayan pemilik perahu, dan nelayan buruh (Kusnadi, 2000). Ketiga pihak terikat oleh hubungan kerja sama ekonomi yang erat. Pedagang perantara menyediakan bantuan dan pinjaman (uang)  ikatan untuk nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik menyediakan bantuan dan pinjaman ikatan kepada nelayan buruh. Hubungan kerja sama ekonomi di antara mereka diikat oleh relasi patron-klien. Relasi sosial ekonomi bebasis patron-klien ini berlangsung intensif dan dalam jangka panjang. Relasi sosial ekonomi akan berakhir  jika terjadi persoalan yang tidak bisa diatasi di antara mereka, sehingga pihak nelayan pemilik dan nelayan buruh harus melunasi utangutangnya kepada pedagang perantara.
Sedemikian dalamnya relasi patron-klien mendasari  aktivitas ekonomi nelayan, sehingga ada peneliti yang menyebut organisasi ekonomi nelayan sebagai organisasi ”ekonomi patron-klien” (Elfindri. 2002). Selain di sektor ekonomi, relasi-relasi  patron-klien juga terjadi intensif di kampung-kampung nelayan yang tingkat kemiskinannya tinggi. Sebagai contoh, dalam jaringan sosial berbasis hubungan ketetanggaan, orang-orang yang mampu (pedagang, nelayan pemilik, atau pihak lainnya) dan memiliki sumber daya ekonomi lebih dari cukup akan membantu tetangganya yang kekurangan. Biasanya bantuan tersebut berupa barangbarang natura, makanan, informasi, pakaian, dan upah jasa. Mereka yang telah ditolong itu akan membalas kebaikan tersebut dengan kesiapan menyediakan jasa tenaganya untuk membantu patron. Aktualisasi relasi patron-klien ini merupakan upaya menjaga kerukunan bersama, sehingga efek negatif kesenjangan sosial di kalangan masyarakat nelayan dapat diminimalisasi (Kusnadi, 2000). Realitas sosial  demikian dan masih berfungsinya pranata-pranata budaya itu menunjukkan  bahwa upaya sebagian akademisi memahami masalah sosial dalam masyarakat nelayan dari perspektif kelas, bukan hanya tidak tepat, tetapi juga menyesatkan secara akademis.
C.      Pola-pola Eksploitasi Sumberdaya
Dalam konteks hubungan eksploitasi sumber daya perikanan, masyarakat nelayan
kita memerankan empat perilaku sebagai berikut:
1.      mengeksploitasi terus-menerus  sumber daya perikanan tanpa memahami batas-batasnya;
2.      mengeksploitasi sumber daya perikanan, disertai dengan merusak ekosistem pesisir dan laut, seperti menebangi hutan bakau serta mengambil terumbu karang dan pasir laut;
3.      mengeksploitasi sumber daya perikanan dengan cara-cara yang  merusak (destructive fishing), seperti kelompok nelayan yang melakukan pemboman ikan,  melarutkan potasium sianida, dan mengoperasikan jaring yang merusak lingkungan, seperti  trawl atau minitrawl; serta
4.      mengeksploitasi sumber daya perikanan dipadukan dengan tindakan  konservasi, seperti nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan  disertai dengan kebijakan pelestarian terumbu karang, hutan bakau, dan mengoperasikan jaring yang ramah lingkungan (Kusnadi, 2009:126-127).
Perilaku pertama, kedua, dan ketiga dianut oleh sebagian besar nelayan kita  sebagai konsekuensi dari persepsi yang kuat terhadap sumber daya perikanan atau sumber daya kelautan yang bersifat  open access bagi siapa pun yang mau memanfaatkannya. Perilaku keempat adalah perilaku minoritas di kalangan masyarakat nelayan, seperti ditunjukkan oleh adanya komunitas-komunitas adat atau komunitas lokal  yang mengelola sumber daya perikanan untuk memperkuat kepentingan ekonomi kolektif, kemandirian sosial, dan kelangsungan hidup.
Komunitas-komunitas adat seperti ini tersebar di berbagai wilayah tanah air. Mereka menjaga dengan baik pranata-pranata pengelolaan sumber daya laut yang dimilikinya, seperti sasi di Maluku, ondoafi di Papua Barat, bati di Ternate, rompong di Sulawesi Selatan, tonass di Sulawesi Utara, awig-awigdi Nusa Tenggara Barat, patenekan di Banten, atau gogolan di Tegal. Klaim pemilikan atas sumber daya komunal ini dilegitimasi oleh sejarah sosial dan unsur-unsur identitas etnisitas yang mereka miliki (Kusnadi, 2009:127).
Perilaku eksploitatif yang tak terkendali berimplikasi luas terhadap kelangkaan sumberdaya perikanan dan  kemiskinan nelayan. Di samping itu, kompetisi antar nelayan dalam memperebutkan sumber daya perikanan terus meningkat, sehingga berpotensi menimbulkan konflik secara eksplosif di berbagai wilayah perairan, khususnya di kawasan yang menghadapi kondisi overfishing (tangkap lebih).
Kondisi-kondisi umum yang secara tidak langsung dapat  mempengaruhi  timbulnya konflik nelayan adalah sebagai berikut:
1.      Kelangkaan atau semakin berkurangnya sumber daya perikanan, khususnya di perairan pantai, dan kondisi  overfishing,  yang disebabkan oleh beberapa hal penting, yaitu: eksploitasi berlebihan dan kerusakan ekosistem pesisir-laut. 
2.      Kegiatan eksploitasi sumber daya perikanan tidak disertai dengan kesadaran dan visi kelestarian atau keberlanjutan dalam mengelola lingkungan pesisir-laut, sehingga terjadi ketimpangan.  
3.      Kegagalan pembangunan pedesaan di wilayah kabupaten/kota pesisir, sehingga meningkatkan tekanan penduduk terhadap  sumber daya laut dan kompetisi semakin meningkat.
4.      Belum adanya perencanaan dan aplikasi kebijakan  pembangunan wilayah pesisir secara terpadu dengan melibatkan stakeholders yang luas.
Selain itu, sebab-sebab khusus timbulnya  konflik  nelayan di  antaranya adalah sebagai berikut:
1)      Pelanggaran jalur-jalur penangkapan, khususnya di perairan pantai (inshore).
2)      Perebutan wilayah tangkapan (fishing grounds). 
3)      Perebutan lokasi rumpon dan pencurian ikan di lokasi rumpon.
4)      Pengoperasian alat tangkap yang tingkat  kualitasnya berbeda di antara dua kelompok nelayan (misalnya, nelayan pancingan dengan nelayan payang), sehingga hasil tangkapan yang diperoleh timpang.
5)      Pengoperasian alat tangkap yang merusak  kelestarian sumber daya perikanan, seperti minitrawl dan sejenisnya.
6)      Penangkapan yang merusak lingkungan, seperti dengan bom ikan, potasium, dan sebagainya. 
Dalam berbagai kasus konflik nelayan, sebab-sebab di atas sering saling tumpang tindih. Upaya untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap sumber daya laut dan mengatasi overfishing melalui diversifikasi pekerjaan atau konversi pekerjaan tidak mudah dilakukan karena terbatasnya peluang kerja lainnya (off-fishing) di daerah pesisir.
Ketergantungan nelayan terhadap laut sangat tinggi. Sebagai contoh kasus, dari hasil studi Purnomo (2005) terungkap bahwa sebagian besar (89,3%) dari nelayan-nelayan di Sampang, Bangkalan, Pasuruan, Sidoarjo, dan Surabaya tetap mempertahankan pekerjaannya menangkap ikan dan sebanyak 94,9% di antara mereka tetap mempertahankan Perairan Selat Madura sebagai daerah operasi penangkapan. Padahal, Selat Madura sudah dalam kondisi overfishing sejak tahun 1996. Data ini menunjukkan bahwa peluang terjadinya konflik nelayan masih cukup besar. Oleh sebab itu, upayaupaya meresolusi konflik nelayan harus terus dilakukan oleh berbagai pihak, dengan pendekatan yang multi dimensional.
D.      Kepemimpinan Sosial 
Sebagai suatu kesatuan sosial-budaya, masyarakat nelayan memiliki ciri-ciri perilaku sosial yang dipengaruhi oleh karakteristik kondisi geografis dan matapencaharian penduduknya.  Sebagian dari ciri-ciri perilaku sosial tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Etos kerja tinggi untuk memenuhi  kebutuhan hidup dan mencapai kemakmuran.
2.      Kompetitif dan mengandalkan kemampuan diri untuk mencapai keberhasilan.
3.      Apresiasi terhadap prestasi seseorang dan menghargai keahlian.
4.      Terbuka dan ekspresif, sehingga cenderung “kasar”.
5.      Solidaritas sosial yang kuat dalam  menghadapi ancaman bersama atau membantu sesama ketika menghadapi musibah.
6.      Kemampuan adaptasi dan bertahan hidup yang tinggi.
7.      Bergaya hidup “konsumtif “.
8.      Demonstratif dalam harta-benda (emas, perabotan rumah, kendaraan, bangunan rumah, dan sebagainya) sebagai manifestasi “keberhasilan hidup”.
9.      ”Agamis”, dengan sentimen keagamaan yang tinggi.
10.  ”Temperamental”, khususnya jika terkait dengan ”harga diri”.
Salah satu ciri perilaku sosial dari masyarakat pesisir yang terkait dengan sikap temperamental dan harga diri tersebut dapat disimak dalam pernyataan antropolog Belanda di bawah ini (Boelaars, 1984:62): Orang pesisir  memiliki orientasi yang kuat untuk merebut dan meningkatkan kewibawaan atau status sosial. Mereka sendiri mengakui bahwa mereka cepat marah, mudah tersinggung, lekas menggunakan kekerasan, dan gampang cenderung balas-membalas sampai dengan pembunuhan. Orang pesisir memiliki rasa harga diri yang amat tinggi dan sangat peka. Perasaan itu bersumber pada kesadaran mereka bahwa pola hidup pesisir  memang pantas mendapat penghargaan yang tinggi.
Ciri-ciri perilaku sosial di atas memiliki relevansi dengan ciri-ciri kepemimpinan sosial masyarakat pesisir. Berdasarkan kajian filologis atas naskah-naskah klasik (kuno) yang banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, seperti Kitab Sindujoyo Pesisiran dan Babad Gresik Pesisiran, syarat-syarat pemimpin di kalangan masyarakat pesisir  adalah sebagai berikut (Widayati, 2001:3): 
1. Siap menolong siapa saja yang meminta bantuan.
2. Mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.
3. Dermawan kepada semua orang.
4. Selalu menuntut ilmu dunia dan akhirat untuk keseimbangan  kehidupan. 
5. Tidak berambisi terhadap jabatan atau kedudukan walaupun banyak berjasa.
6. Rendah hati (tidak sombong), tetapi tidak rendah diri (minder).
7. Sangat benci penindasan dan berbuat adil kepada siapa saja.
8. Rajin bekerja dan beribadah, khususnya shalat lima waktu.
9. Sabar dan bijaksana.
10. Berusaha membahagiakan  orang lain.
Sebagian nilai-nilai perilaku sosial di  atas merupakan modal sosial yang sangat berharga jika didayagunakan untuk  membangun masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir. Demikian juga, syarat-syarat pemimpin dan kepemimpinan  masyarakat pesisir memiliki relevansi yang baik untuk merekonstruksi kepemimpinan bangsa dan negara Indonesia. Penjelajahan terhadap nilai-nilai budaya kepesisiran ini tentu saja memiliki kontribusi yang sangat strategis untuk membangun masa depan bangsa yang berbasis pada potensi sumber daya kemaritiman nasional.














 BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang spesifik dan terbangun melalui proses evalusi yang panjang. Ciri-ciri kebudayaan di atas, seperti sistem gender, relasi patron-klien, pola-pola perilaku dalam mengeksploitasi sumber daya perikanan, serta kepemimpinan sosial tumbuh karena pengaruh kondisikondisi dan karakteristik-karakteristik yang terdapat di lingkungannya. Sebagai bagian dari suatu masyarakat yang luas, yang sedang bergerak mengikuti arus dinamika sosial, masyarakat nelayan dan kebudayaan pesisir  juga akan terkena dampaknya. Kemampuan beradaptasi dan keberhasilan menyikapi tantangan perubahan sosial sangat menentukan kelangsungan hidup dan integrasi sosial masyarakat nelayan.

2.      Saran
Dengan ditulisnya makalah yang menjelaskan tentang konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial budayanya dipengaruhi secara signifikan oleh eksistensi kelompok-kelompok sosial yang kelangsungan hidupnya bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir Sebagai Anggota Masyarakat ini, semoga kita semua bisa benar-benar memahami tentang apa yang seharusnya kita dapatkan sebagai warga negara khususnya yang tinggal didaerah pesisir. Sehingga, kita mampu membangun negeri yang maju dan penuh dengan keadilan, kemakmuran, aman dan sejahtera.



DAFTAR PUSTAKA
Boelaars, Yan 1984.  Kepribadian Indonesia Modern:  Suatu Penelitian Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.
Eisenstadt, S.N. dan L. Roniger. 1984.  Patrons, Clients, and  Friends: Interpersonal Relations and the Structure of Trust in Society. Cambridge: Cambridge University Press.
Elfindri. 2002. Ekonomi Patron-Client: Fenomena Mikro Rumah Tangga Nelayan dan Kebijakan Makro. Padang: Andalas University Press.
Ginkel, Rob van. 2007.  Coastal Cultures: An Anthropology of Fishing and Whaling Traditions. Apeldoorn: Het Spinhuis Publishers.
Hasanudin, Basri.1985. ”Beberapa Hal Mengenai Struktur Ekonomi Masyarakat Pantai”, dalam A.S. Achmad dan S.S. Acip (Peny.).  Komunikasi dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, hal. 105-110.
Jay, Robert R. 1969.  Javanese Villagers: Social Relation in Rural Modjokuto. Cambridge: The MIT Press.
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga.
Kluckhon, Clyde 1984. “Cermin bagi Manusia”, dalam Parsudi Suparlan (Ed.). Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: Rajawali Pers, hal. 69-109.
______. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta: ArRuzz Media.
Kusnadi, Hari Sulistiyowati, Adi Prasodjo, dan Sumarjono. 2006.  Perempuan Pesisir. Yogyakarta: LKiS.
Purnomo, Gatot Sugeng. 2005.  Strategi Bertahan Hidup: Respons Nelayan terhadap Perubahan Kondisi Daerah Penangkapan Ikan di Selat Madura. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 
Widayati, Sri Wahyu 2001. “Prototipe Kepemimpinan Masyarakat Jawa dalam Karya Sastra Jawa Pesisiran”, Makalah Kongres Bahasa Jawa III, di Yogyakarta, 15 Juli.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar