Selasa, 01 Januari 2013


TUGAS INDIVIDU
TUGAS LAPANG SOSIOLOGI PERTANIAN



RESUME SOSIOLOGI KONTEMPORER





OLEH
TRI SULTAN EFENDI
G211 11 902
KELAS B






PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
Dalam usaha menetapkan kredibilitas akademis sosiologi itu, banyak perhatian telah diberikan pada usaha mewujudkannya sebagai ilmu yang harus bertujuan untuk kebebasan dan kenetralan ilmiah. Gambaran sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang demikian tidak secara khusus tepat ; walau demikian, sampai saat ini tetap berfungsi sebagai dasar, diatas mana banyak sosiologi kontemporer amerika bertumpuh. Seperti terlihat pada kutipan gouldner diatas, kemungkinan sosiologi yang bebas-nilai (value- free) benar-benar sedang dipertanyakan. Perspektif teoritis yang berbeda menggunakan asumsi-asumsi yang berbeda pula-kalau para ahli sosiologi mungkin enggan atau menolak untuk mengakuinya. Terbius oleh mitos disiplin yang bebas-nilai, sampai saat ini para ahli sosiologi hanya sedikit member perhatian pada asumsi-asumsi tentang hakikat manusia dan masyarakat yang  terkandung dalam berbagai perspektif yang berbeda. Dewasa ini mereka yang mempelajari sosiologi mungkin menyadari bahwa berbagai teori tentang masyarakat tidak dapat dengan mudah digabungkan kedalam suatu teori tunggal. Dalam teori kontenporer banyak sekali asumsi-asumsi mengenai gambaran manusia dan masyarakat yang saling bersaing dan bertentangan satu sama lain.
Dikotomi utama dalam sosiologi pernah diungkapkan dengan cara-cara yang berbeda. Catton (1966) membahas sosiologi “naturalistis” lawan “animistis”. Gidden (1967) membuat perbedaan antara sosiologi “interpretative” dan “positivistis”. Martindale (1974) membahas dasar-dasar historis sosiologi “scientific” lawan “humanistis”. Istilah-istilah itu telah dipakai dan disalah gunakan pada tingkat dimana para ahli teori mungkin merasa segan memakai masing-masing label yang demikian.

HAKIKAT TEORI NATURALISTIS DAN POSITIVISTIS
            Sosiologi naturalistis atau positivistis terikat pada ide yang memandang sosiologi sebagai suatu ilmu seperti halnya dengan ilmu-ilmu alam adalah ilmu. Di antara para ilmu sosiologi naturalistis terdapat mereka yang menggunakan ilmu fisika dan biologi sebagai model, maupun mereka yang terikat pada gagasan kesatuan semua ilmu, ilmu alam atau ilmu sosial, tanpa membedakan kedudukan setiap disiplin satu sama lain. Capton (1966), mengakui bahwa fisikalisme (yang menggabungkan sosiologi dengan ilmu kimia fisika) dan mekanisme (menggunkan prinsip-prinsip fisika mekanik untuk membantu menjelaskan fenomena sosial) sesuai dengan sosiologi naturalistik. Salah satu ciri yang paling penting dalam sosiologi positivistis atau naturalistis ialah keyakinan bahwa fenomena sosial itu memiliki pola dan tunduk pada hukum-hukum deterministis seperti layaknya hukum-hukum yang mengatur ilmu alam. Karena itu teori sosiologi merupakan suatu pencarian hukum-hukum yang sama dengan hukum gravitasi dan hukum kepadatan materi dalam ilmu fisika.
            Pendekatan pada teori seperti ini melahirkan tuntutan akan batasan akan teori sosiologi yang sederhana tetapi tepat. Ricard Rudner (1966), seorang ahli filsafat ilmu mendefenisikan teori sebagai : “seperangkat pernyataan yang secara sistematis berhubungan, termasuk beberapa generalisasi yang memiliki kemiripan sebagai hukum, yang dapat diuji secara empiris”. Unit dasar suatu teori ialah konsep atau variable sosiologis yang memberikan dasar bagi pengujian empiris. Emile Durkheim, ahli teori sosiologi yang menghasilkan karya klasik yang menjadi dasar tumpuan  teori naturalistis, menyebut konsep tersebut sebagai fakta sosial. Suatu fakta sosial adalah suatu konsep yang memiliki realitas empiris di luar imajinasi seseorang. Bagi Durkhein, fakta sosial demikian meliputi antara lain status perkawinan, usia, agama, kondisi ekonomi, tingkat bunuh diri dan kejahatan.
            Sosiologi kontemporer melihat fakta sosial yang demikian sebagai variable-variable atau konsep-konsep yang memiliki karaketristik yang bersifat variable. Fakta sosial atau variable itu komplit, dapat diamati dan dapat diukur. Di atas semuanya terletak banyak dictum ahli-ahli filsafat ilmu bahwa suatu teori harus dapat diuji secara empiris. Konsep-konsep variable dan batasan mereka yang tepat adalah dasar bagi pembentukan teori. Tetapi dasar-dasar analitis ini harus diolah bersama-sama melalui pembentukan proposisi-proposisi. Bila dinyatakan secara singkat, proposisi adalah suatu pernyataan umum tentang hubungan antara fakta sosial atau variable. Dalam proposisi-proposisi, konsep-konsep sosiologis itu dikaitkan satu sama lain ke dalam pernyataan-pernyataan yang dituntut oleh batasan Rudner tentang suatu teori.
            Proposisi-proposisi itu tidak dengan sendirinya merupakan teori  seperi halnya, batu bata tidak dengan sendirinya merupakan suatu bangunan. Dalam kasus pasangan suami istri dan kaum yahudi pada masa Durkheim itu, tingkat bunuh diri dikalangan orang yang berkeluarga adalah lebih rendah dibandingkan dengan orang yang belum kawin dan mereka yang beragama yahudi lebih rendah dari pada mereka yang berasal dari kelompok-kelompok keagamaan lainnya. Teori naturalistis terikat pada ketepatan konstruksi teori, tetapi terus-terang memang terdapat keragaman derajat keterikatan. Masih terdapat sebuah pendekatan lain terhadap teori naturalistis. Pendekatan ini tidak hanya menggunakan analogi antara ilmu alam dan ilmu sosial, tetapi juga terikat pada pandangan tentang kesatuan semua ilmu. Pandangan demikian menyatakan bahwa harus ada suatu teori tunggal tentang masyarakat (teori-teori yang bersaing satu sama lain) dan secara ideal teori ini harus digabungkan ke dalam suatu kesatuan teori ilmiah.
            Teori system umum menekankan kebutuhan kesamaan bahasa dan kesamaan model untuk memungkinkan komunikasi di antara para spesialis menuju ke arah suatu kesatuan teori ilmu sosial dan ilmu alam. Secara singkat dapat kita katakan bahwa teori naturalistis menganjurkan agar sosiologi mempersolek diri dalam citra ilmu alam. Walau para ahli sosiologi naturalistis akan menolak bila mereka di dakwah memiliki asumsi-asumsi (anggapan dasar) nilai yang berhubungan dengan hakikat manusia, akan tetapi pengkajian secara mendalam terhadap karya mereka akan menunjukkan hal yang sebaliknya. Asumsi-asumsi yang tersirat tentang manusia akan segera tampak dan dapat dihubungkan dengan asumsi tentang hakikat masyarakat: bahwa manusia adalah insan yang malang (follencreatures) yang kelangsungan hidupnya hanya mungkin berada dalam suatu dunia sosial yang tertib.
            Gambaran manusia sebagai insane yang malang ini sebenarnya bukan merupakan hal baru. Gambaran demikian bisa di temukan dalam kitab injil maupun dalam berbagai risalah filosofis. Dalam teori Hobbes kita temukan anggapan dasar bahwa manusia pada hakikatnya egois, merupakan makhluk yang telah ditentukan (determined creature), akn tetapi mampu bertindak rasional-yang sebenarnya merupakan asumsi-asumsi yang merembes masuk kedalam banyak teori naturalistis. Pada bab-bab selanjutnya kita berkali-kali akan melihat gambaran yang saling berhubungan antara manusia dan masyarakat itu, ketika kita harus memusatkan perhatian pada setiap ahli teori serta setiap asumsi-asumsi yang mendasari masing-masing teori mereka. Sebenarnya keteraturan masyarakatlah yang melindungi manusia sebagai korban dari apa yang disebut Hobbes “perang semua lawan semua” dimana yang menjadi hukum adalah nafsu keserakahan manusia.
HAKIKAT SOSIOLOGI HUMANISTIS ATAU INTERPRETATIF
            Berbeda dengan sosiologi naturalistis atau positivistis, sosiologi humanistis bertolak dari tiga isu penting. Pertama, tidak seperti sosiologi naturalistis, sosiologi humanistis menerima “pandangan commonsense tetang hakikat sifat manusia” (catton, 1966:57), dan mencoba menyesuaikan dan membangun dirinya diatas pandangan itu. Konsep diri misalnya, menekankan bahasa dan pengertian, mempertanyakan kebebasan manusia lawan determinisme, yang keseluruhannya terlalu sukar dipahami oleh sebagian besar ahli sosiologi naturalistis, adalah merupakan masalah sosiologis yang esensis bagi ahli-ahli sosiologi humanis. Kedua, para ahli sosiologis humanistis itu yakin bahwa pandangan “common-sense” tersebut dapat dan harus diperlakukan sebagai premis dari mana penyempurnaan perumusan sosiologi berasal. Dengan demikian pembangunan teori dalam sosiologi bermula dari hal-hal yang kelihatannya jelas, ada dalam kehidupan sehari-hari, dan umum. Ketiga, sosiologi humanis “mengetengahkan lebih banyak masalah kemanusian ketimbang usaha untuk menggunakan preskripsi metodologis yang bersumber dari dalam ilmu-ilmu alam, untuk mempelajari masalah-masalah manusia” dengan kata lain sosiologi berbeda dengan ilmu-ilmu alam dan tersesat apabila dalam usahanya untuk memperoleh watak ilmiah terlalu menyimpang jauh dari watak manusia.
            Berbeda dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi, teori interpretatif (humanis)mencoba memahami tindakan sosial pada level makna yang relatif, plural, dan dinamis. Semestinya, sosiologibukan mencoba untuk menjadi mirip fisika sosial, melainkan harus berusaha menemukan makna yang dijalin orangmelalui tindakan mereka sehari-hari. Pandangan ini berakar dari epistemologi Kant yang menjelaskan refleksi atassyarat-syarat kemungkinan dari pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang mengetahui,berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya. Adadunia subyektif yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu. Hal itu sekaligus menolak rumusan positivisyang mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati (obyek). Penentangan saintisme ilmu ini dipeloporioleh Max Weber dan Wilhelm Dilthey.
Weber menekankan pada fenomena „spiritual‟ atau „ideal‟ manusia, yang merupakan khas manusia, dan tak dapat dijangkau oleh ilmu-ilmu alam. Karena itu, sosiologi perlu menekuni realitas kehidupan manusia, dengan caramemahami dan menafsirkan atau verstehen. Sedangkan Dilthey memusatkan perhatiannya pada usaha menemukanstruktur simbolis atau makna dari produk-produk manusiawi, seperti; sejarah, masyarakat, candi, dan interaksi.Sementara Schutz memfokuskan pada pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dunia sehari-hari adalahdunia yang terpenting dan paling fundamental bagi manusia, sekaligus sebagai realitas yang memiliki maknasubyektif. Perkembangan fenomenologi Schutz berimplikasi pada lahirnya etnometodologi (Harold Garfinkel),interaksionisme simbolik (Herbert Blumer), dramaturgi (Erving Goffman), dan konstruksi sosial (Peter L. Berger).
            Perdebatan paling abadi antara sosiologi humanistis dan naturalistis, mungkin adalah perdebatan yang mencakup masalah metodologi, atau prosedur untuk membuat sosiologi ilmiah. Pandangan sosiologi naturalistis yang menekan pada “pembangunan ilmu” ini, berpaling kepada ilmu alam sebagai model bagi pembentukan teori dan ketepatan didalam penelitian sosiologis. Soisologi humanistis, sebaliknya menekankan sifat-sifat (properties) dalam perilaku manusia yang membuat mereka memiliki sifat unik didunia penciptaan. Menurut mereka kekaguman terhadap sosiologi naturalistis atau paham deterministis menjerumuskan orang dengan mengabaikan kekayaan tindakan manusia berdasarkan penafsiran mereka.
            Asumsi-asumsi sosiologi humanistis tentang manusia dan masyarakat. Sosiologi humanistis bertumpu diatas asumsi-asumsi yang sangat berbeda tentang hakikat manusia dan masyarakat. Walau dalam memperinci asumsi-asumsi tersebut para ahli teori berbeda satu sama lain, tetapi terdapat kesepakatan bahwa manusia paling tidak sampai derajat tertentu bebas membentuk dunia kehidupan baru mereka, kalau bukan malahan dunia sosial yang lebih luas dimana mereka merupakan bagiannya. Gidden meringkas beberapa asumsi tambahan atau pandangan mazhab interpretative ini. Pertama, “dunia sosial, berbeda dengan dunia alam, harus dimengerti sebagai suatu penyelesaian secara tertatih dari manusia sebagai subyek yang aktif”; dan kedua, “pembentukan dunia ini sebagai sesuatu yang mempunyai makna, dapat diperhitungkan, atau dimengerti dengan jelas di atas bahasa, haruslah dipandang bukan semata-mata sebagai system lambing-lambang atau symbol-simbol, tetapi sebagai suatu medium kegiatan praktis”.
            Dengan demikian, sosiologi interpretative cenderung memberikan tekanan bahwa orang lebih bebas dan lebih kreatif dari pada yang di berikan oleh para penganut naturalis. Dalam sosiologi humanistis atau interpretative tekanan diberikan pada interaksi dalam dan interpretasi atas dunia ketimbang pada hakikat struktur.

KELAHIRAN TEORI SOSIOLOGI EVALUATIF
            Dalam teori sosiologi kontemporer Amerika sosiologi positivistis atau naturalistis merupakan model yang paling dominan, sedang teori interprtatif atau humanistis hanya berperan sebagai suatu pendekatan alternative. Masih terdapat seperangkat asumsi-asumsi lain yang ada hubungannya dengan sosiologi interpretati atau naturalis. Auguste Comte, yang dianggap sebagai penemu ilmu ini, mengembangkan sosiologi sebagai agama kemanusiaan yang secara ilmiah akan menemukan rahasia untuk menyempurnakan harmoni sosial dan kesempurnaan umat manusia.
            Dalam usaha memantapkan sosiologi sebagai disiplin yang berwibawa lahir pulalah lembaga-lembaga kependetaan. Para ahli sosiologi bergaya pendeta ini, seperti halnya dengan pendeta keagamaan, lebih mungkin menerima aturan sosial yang sudah ada dan berkhotbah untuk menguatkan atau membenarkannya. Sementara sosiologi yang bergaya nabi yang menyerukan beberapa perubahan dunia sosial yang lebih luas, para ahli sosiologi bergaya pendeta menghimbau disiplin akademis, untuk mempelajari realitas soaial secara objektif. Kadang-kadang para ahli sosiologi bergaya pendeta bergabung dengan ungkapan kenabian yang demikian, akan tetapi pada umumnya mereka memisahkan peranan “sosiolog bebas-nilai” mereka dari masyarakat yang bersangkutan. Mereka mengatakan bahwa karya para pendeta sosiologi juga memiliki asumsi-asumsi sarat-nilai, akan tetapi seringkali mereka buta terhadap semuanya itu.
            Menurut para nabi atau ahli sosiologi evaluative, kebutaan pada asumsi-asumsi yang demikian, bahkan pada asumsi yang lebih penting mengenai implikasi teori mereka, tidak membuat sosiologi menjadi bebas nilai. Para ahli sosiologi evaluative dapat memperjelas pendapat seorang ahli sosiologi jerman, ralf dahrendorf ketika dia menyatakan bahwa “lebih penting untuk memperingatkan agar menentang pemisahan secara radikal ilmu dan pertimbangan nilai (value judgement) dari pada memperingatkan agar melawan pembauran mereka”. Dalam pembahasan kegagalan proyek camelod, dahrendorf yang menunjukkan perlunya para ahli sosiolog untuk menyadari seluruh konteks dimana karya-karya mereka dilaksanakan dan memperkirakan berbagai konsekuensi moral dan politis dari riset dan teori mereka. Dengan mengetahui seluruh konteks dari proyek penelitian itu maka terbukti bahwa pertimbangan nilai ternyata merupakan bagian dari proyek camelod, dan ini seharusnya tidak diabaikan oleh seorang ahli sosiologi yang baik. Perlu diingat bahwa teori evaluative, dengan semangat yang lebih bersifat kenabian, dapat bersifat naturalistis atau humanistis.

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar