TUGAS
INDIVIDU
TUGAS
LAPANG SOSIOLOGI PERTANIAN
RESUME SOSIOLOGI KONTEMPORER
OLEH
TRI SULTAN EFENDI
G211 11 902
KELAS B
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
JURUSAN SOSIAL EKONOMI
PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
Dalam usaha
menetapkan kredibilitas akademis sosiologi itu, banyak perhatian telah
diberikan pada usaha mewujudkannya sebagai ilmu yang harus bertujuan untuk
kebebasan dan kenetralan ilmiah. Gambaran sosiologi sebagai ilmu pengetahuan
yang demikian tidak secara khusus tepat ; walau demikian, sampai saat ini tetap
berfungsi sebagai dasar, diatas mana banyak sosiologi kontemporer amerika
bertumpuh. Seperti terlihat pada kutipan gouldner diatas, kemungkinan sosiologi
yang bebas-nilai (value- free) benar-benar sedang dipertanyakan. Perspektif
teoritis yang berbeda menggunakan asumsi-asumsi yang berbeda pula-kalau para
ahli sosiologi mungkin enggan atau menolak untuk mengakuinya. Terbius oleh mitos
disiplin yang bebas-nilai, sampai saat ini para ahli sosiologi hanya sedikit
member perhatian pada asumsi-asumsi tentang hakikat manusia dan masyarakat
yang terkandung dalam berbagai
perspektif yang berbeda. Dewasa ini mereka yang mempelajari sosiologi mungkin
menyadari bahwa berbagai teori tentang masyarakat tidak dapat dengan mudah
digabungkan kedalam suatu teori tunggal. Dalam teori kontenporer banyak sekali
asumsi-asumsi mengenai gambaran manusia dan masyarakat yang saling bersaing dan
bertentangan satu sama lain.
Dikotomi utama dalam
sosiologi pernah diungkapkan dengan cara-cara yang berbeda. Catton (1966)
membahas sosiologi “naturalistis” lawan “animistis”. Gidden (1967) membuat
perbedaan antara sosiologi “interpretative” dan “positivistis”. Martindale
(1974) membahas dasar-dasar historis sosiologi “scientific” lawan “humanistis”.
Istilah-istilah itu telah dipakai dan disalah gunakan pada tingkat dimana para
ahli teori mungkin merasa segan memakai masing-masing label yang demikian.
HAKIKAT
TEORI NATURALISTIS DAN POSITIVISTIS
Sosiologi
naturalistis atau positivistis terikat pada ide yang memandang sosiologi
sebagai suatu ilmu seperti halnya dengan ilmu-ilmu alam adalah ilmu. Di antara
para ilmu sosiologi naturalistis terdapat mereka yang menggunakan ilmu fisika
dan biologi sebagai model, maupun mereka yang terikat pada gagasan kesatuan
semua ilmu, ilmu alam atau ilmu sosial, tanpa membedakan kedudukan setiap
disiplin satu sama lain. Capton (1966), mengakui bahwa fisikalisme (yang
menggabungkan sosiologi dengan ilmu kimia fisika) dan mekanisme (menggunkan
prinsip-prinsip fisika mekanik untuk membantu menjelaskan fenomena sosial)
sesuai dengan sosiologi naturalistik. Salah satu ciri yang paling penting dalam
sosiologi positivistis atau naturalistis ialah keyakinan bahwa fenomena sosial
itu memiliki pola dan tunduk pada hukum-hukum deterministis seperti layaknya
hukum-hukum yang mengatur ilmu alam. Karena itu teori sosiologi merupakan suatu
pencarian hukum-hukum yang sama dengan hukum gravitasi dan hukum kepadatan
materi dalam ilmu fisika.
Pendekatan
pada teori seperti ini melahirkan tuntutan akan batasan akan teori sosiologi
yang sederhana tetapi tepat. Ricard Rudner (1966), seorang ahli filsafat ilmu
mendefenisikan teori sebagai : “seperangkat pernyataan yang secara sistematis
berhubungan, termasuk beberapa generalisasi yang memiliki kemiripan sebagai
hukum, yang dapat diuji secara empiris”. Unit dasar suatu teori ialah konsep
atau variable sosiologis yang memberikan dasar bagi pengujian empiris. Emile Durkheim,
ahli teori sosiologi yang menghasilkan karya klasik yang menjadi dasar
tumpuan teori naturalistis, menyebut
konsep tersebut sebagai fakta sosial. Suatu fakta sosial adalah suatu konsep
yang memiliki realitas empiris di luar imajinasi seseorang. Bagi Durkhein,
fakta sosial demikian meliputi antara lain status perkawinan, usia, agama,
kondisi ekonomi, tingkat bunuh diri dan kejahatan.
Sosiologi
kontemporer melihat fakta sosial yang demikian sebagai variable-variable atau
konsep-konsep yang memiliki karaketristik yang bersifat variable. Fakta sosial
atau variable itu komplit, dapat diamati dan dapat diukur. Di atas semuanya
terletak banyak dictum ahli-ahli filsafat ilmu bahwa suatu teori harus dapat
diuji secara empiris. Konsep-konsep variable dan batasan mereka yang tepat
adalah dasar bagi pembentukan teori. Tetapi dasar-dasar analitis ini harus
diolah bersama-sama melalui pembentukan proposisi-proposisi. Bila dinyatakan
secara singkat, proposisi adalah suatu pernyataan umum tentang hubungan antara fakta
sosial atau variable. Dalam proposisi-proposisi, konsep-konsep sosiologis itu
dikaitkan satu sama lain ke dalam pernyataan-pernyataan yang dituntut oleh
batasan Rudner tentang suatu teori.
Proposisi-proposisi
itu tidak dengan sendirinya merupakan teori
seperi halnya, batu bata tidak dengan sendirinya merupakan suatu
bangunan. Dalam kasus pasangan suami istri dan kaum yahudi pada masa Durkheim
itu, tingkat bunuh diri dikalangan orang yang berkeluarga adalah lebih rendah
dibandingkan dengan orang yang belum kawin dan mereka yang beragama yahudi
lebih rendah dari pada mereka yang berasal dari kelompok-kelompok keagamaan
lainnya. Teori naturalistis terikat pada ketepatan konstruksi teori, tetapi
terus-terang memang terdapat keragaman derajat keterikatan. Masih terdapat
sebuah pendekatan lain terhadap teori naturalistis. Pendekatan ini tidak hanya
menggunakan analogi antara ilmu alam dan ilmu sosial, tetapi juga terikat pada
pandangan tentang kesatuan semua ilmu. Pandangan demikian menyatakan bahwa
harus ada suatu teori tunggal tentang masyarakat (teori-teori yang bersaing
satu sama lain) dan secara ideal teori ini harus digabungkan ke dalam suatu
kesatuan teori ilmiah.
Teori
system umum menekankan kebutuhan kesamaan bahasa dan kesamaan model untuk
memungkinkan komunikasi di antara para spesialis menuju ke arah suatu kesatuan
teori ilmu sosial dan ilmu alam. Secara singkat dapat kita katakan bahwa teori
naturalistis menganjurkan agar sosiologi mempersolek diri dalam citra ilmu
alam. Walau para ahli sosiologi naturalistis akan menolak bila mereka di dakwah
memiliki asumsi-asumsi (anggapan dasar) nilai yang berhubungan dengan hakikat
manusia, akan tetapi pengkajian secara mendalam terhadap karya mereka akan
menunjukkan hal yang sebaliknya. Asumsi-asumsi yang tersirat tentang manusia
akan segera tampak dan dapat dihubungkan dengan asumsi tentang hakikat
masyarakat: bahwa manusia adalah insan yang malang (follencreatures) yang
kelangsungan hidupnya hanya mungkin berada dalam suatu dunia sosial yang
tertib.
Gambaran
manusia sebagai insane yang malang ini sebenarnya bukan merupakan hal baru.
Gambaran demikian bisa di temukan dalam kitab injil maupun dalam berbagai
risalah filosofis. Dalam teori Hobbes kita temukan anggapan dasar bahwa manusia
pada hakikatnya egois, merupakan makhluk yang telah ditentukan (determined
creature), akn tetapi mampu bertindak rasional-yang sebenarnya merupakan
asumsi-asumsi yang merembes masuk kedalam banyak teori naturalistis. Pada
bab-bab selanjutnya kita berkali-kali akan melihat gambaran yang saling
berhubungan antara manusia dan masyarakat itu, ketika kita harus memusatkan
perhatian pada setiap ahli teori serta setiap asumsi-asumsi yang mendasari
masing-masing teori mereka. Sebenarnya keteraturan masyarakatlah yang
melindungi manusia sebagai korban dari apa yang disebut Hobbes “perang semua
lawan semua” dimana yang menjadi hukum adalah nafsu keserakahan manusia.
HAKIKAT SOSIOLOGI HUMANISTIS ATAU INTERPRETATIF
Berbeda
dengan sosiologi naturalistis atau positivistis, sosiologi humanistis bertolak
dari tiga isu penting. Pertama, tidak seperti sosiologi naturalistis, sosiologi
humanistis menerima “pandangan commonsense tetang hakikat sifat manusia”
(catton, 1966:57), dan mencoba menyesuaikan dan membangun dirinya diatas
pandangan itu. Konsep diri misalnya, menekankan bahasa dan pengertian,
mempertanyakan kebebasan manusia lawan determinisme, yang keseluruhannya
terlalu sukar dipahami oleh sebagian besar ahli sosiologi naturalistis, adalah
merupakan masalah sosiologis yang esensis bagi ahli-ahli sosiologi humanis.
Kedua, para ahli sosiologis humanistis itu yakin bahwa pandangan “common-sense”
tersebut dapat dan harus diperlakukan sebagai premis dari mana penyempurnaan perumusan
sosiologi berasal. Dengan demikian pembangunan teori dalam sosiologi bermula
dari hal-hal yang kelihatannya jelas, ada dalam kehidupan sehari-hari, dan
umum. Ketiga, sosiologi humanis “mengetengahkan lebih banyak masalah kemanusian
ketimbang usaha untuk menggunakan preskripsi metodologis yang bersumber dari
dalam ilmu-ilmu alam, untuk mempelajari masalah-masalah manusia” dengan kata
lain sosiologi berbeda dengan ilmu-ilmu alam dan tersesat apabila dalam
usahanya untuk memperoleh watak ilmiah terlalu menyimpang jauh dari watak
manusia.
Berbeda dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum
sosial yang berlaku abadi, teori interpretatif (humanis)mencoba memahami
tindakan sosial pada level makna yang relatif, plural, dan dinamis. Semestinya,
sosiologibukan mencoba untuk menjadi mirip fisika sosial, melainkan harus berusaha
menemukan makna yang dijalin orangmelalui tindakan mereka sehari-hari.
Pandangan ini berakar dari epistemologi Kant yang menjelaskan refleksi
atassyarat-syarat kemungkinan dari pengetahuan, perkataan dan tindakan kita
sebagai subyek yang mengetahui,berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah
suatu kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya. Adadunia subyektif
yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu. Hal itu sekaligus menolak
rumusan positivisyang mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati
(obyek). Penentangan saintisme ilmu ini dipeloporioleh Max Weber dan Wilhelm
Dilthey.
Weber menekankan pada fenomena
„spiritual‟ atau „ideal‟ manusia, yang merupakan khas manusia, dan tak dapat
dijangkau oleh ilmu-ilmu alam. Karena itu, sosiologi perlu menekuni realitas
kehidupan manusia, dengan caramemahami dan menafsirkan atau verstehen.
Sedangkan Dilthey memusatkan perhatiannya pada usaha menemukanstruktur simbolis
atau makna dari produk-produk manusiawi, seperti; sejarah, masyarakat, candi,
dan interaksi.Sementara Schutz memfokuskan pada pengalaman manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Dunia sehari-hari adalahdunia yang terpenting dan paling
fundamental bagi manusia, sekaligus sebagai realitas yang memiliki
maknasubyektif. Perkembangan fenomenologi Schutz berimplikasi pada lahirnya
etnometodologi (Harold Garfinkel),interaksionisme simbolik (Herbert Blumer),
dramaturgi (Erving Goffman), dan konstruksi sosial (Peter L. Berger).
Perdebatan
paling abadi antara sosiologi humanistis dan naturalistis, mungkin adalah
perdebatan yang mencakup masalah metodologi, atau prosedur untuk membuat
sosiologi ilmiah. Pandangan sosiologi naturalistis yang menekan pada
“pembangunan ilmu” ini, berpaling kepada ilmu alam sebagai model bagi
pembentukan teori dan ketepatan didalam penelitian sosiologis. Soisologi
humanistis, sebaliknya menekankan sifat-sifat (properties) dalam perilaku
manusia yang membuat mereka memiliki sifat unik didunia penciptaan. Menurut
mereka kekaguman terhadap sosiologi naturalistis atau paham deterministis
menjerumuskan orang dengan mengabaikan kekayaan tindakan manusia berdasarkan
penafsiran mereka.
Asumsi-asumsi
sosiologi humanistis tentang manusia dan masyarakat. Sosiologi humanistis
bertumpu diatas asumsi-asumsi yang sangat berbeda tentang hakikat manusia dan
masyarakat. Walau dalam memperinci asumsi-asumsi tersebut para ahli teori
berbeda satu sama lain, tetapi terdapat kesepakatan bahwa manusia paling tidak
sampai derajat tertentu bebas membentuk dunia kehidupan baru mereka, kalau
bukan malahan dunia sosial yang lebih luas dimana mereka merupakan bagiannya.
Gidden meringkas beberapa asumsi tambahan atau pandangan mazhab interpretative
ini. Pertama, “dunia sosial, berbeda dengan dunia alam, harus dimengerti
sebagai suatu penyelesaian secara tertatih dari manusia sebagai subyek yang
aktif”; dan kedua, “pembentukan dunia ini sebagai sesuatu yang mempunyai makna,
dapat diperhitungkan, atau dimengerti dengan jelas di atas bahasa, haruslah
dipandang bukan semata-mata sebagai system lambing-lambang atau symbol-simbol,
tetapi sebagai suatu medium kegiatan praktis”.
Dengan
demikian, sosiologi interpretative cenderung memberikan tekanan bahwa orang
lebih bebas dan lebih kreatif dari pada yang di berikan oleh para penganut
naturalis. Dalam sosiologi humanistis atau interpretative tekanan diberikan
pada interaksi dalam dan interpretasi atas dunia ketimbang pada hakikat
struktur.
KELAHIRAN
TEORI SOSIOLOGI EVALUATIF
Dalam
teori sosiologi kontemporer Amerika sosiologi positivistis atau naturalistis
merupakan model yang paling dominan, sedang teori interprtatif atau humanistis
hanya berperan sebagai suatu pendekatan alternative. Masih terdapat seperangkat
asumsi-asumsi lain yang ada hubungannya dengan sosiologi interpretati atau
naturalis. Auguste Comte, yang dianggap sebagai penemu ilmu ini, mengembangkan
sosiologi sebagai agama kemanusiaan yang secara ilmiah akan menemukan rahasia
untuk menyempurnakan harmoni sosial dan kesempurnaan umat manusia.
Dalam
usaha memantapkan sosiologi sebagai disiplin yang berwibawa lahir pulalah
lembaga-lembaga kependetaan. Para ahli sosiologi bergaya pendeta ini, seperti
halnya dengan pendeta keagamaan, lebih mungkin menerima aturan sosial yang
sudah ada dan berkhotbah untuk menguatkan atau membenarkannya. Sementara
sosiologi yang bergaya nabi yang menyerukan beberapa perubahan dunia sosial
yang lebih luas, para ahli sosiologi bergaya pendeta menghimbau disiplin
akademis, untuk mempelajari realitas soaial secara objektif. Kadang-kadang para
ahli sosiologi bergaya pendeta bergabung dengan ungkapan kenabian yang
demikian, akan tetapi pada umumnya mereka memisahkan peranan “sosiolog
bebas-nilai” mereka dari masyarakat yang bersangkutan. Mereka mengatakan bahwa
karya para pendeta sosiologi juga memiliki asumsi-asumsi sarat-nilai, akan
tetapi seringkali mereka buta terhadap semuanya itu.
Menurut
para nabi atau ahli sosiologi evaluative, kebutaan pada asumsi-asumsi yang
demikian, bahkan pada asumsi yang lebih penting mengenai implikasi teori
mereka, tidak membuat sosiologi menjadi bebas nilai. Para ahli sosiologi
evaluative dapat memperjelas pendapat seorang ahli sosiologi jerman, ralf
dahrendorf ketika dia menyatakan bahwa “lebih penting untuk memperingatkan agar
menentang pemisahan secara radikal ilmu dan pertimbangan nilai (value
judgement) dari pada memperingatkan agar melawan pembauran mereka”. Dalam
pembahasan kegagalan proyek camelod, dahrendorf yang menunjukkan perlunya para
ahli sosiolog untuk menyadari seluruh konteks dimana karya-karya mereka
dilaksanakan dan memperkirakan berbagai konsekuensi moral dan politis dari
riset dan teori mereka. Dengan mengetahui seluruh konteks dari proyek
penelitian itu maka terbukti bahwa pertimbangan nilai ternyata merupakan bagian
dari proyek camelod, dan ini seharusnya tidak diabaikan oleh seorang ahli
sosiologi yang baik. Perlu diingat bahwa teori evaluative, dengan semangat yang
lebih bersifat kenabian, dapat bersifat naturalistis atau humanistis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar